Mata " Uveitis Anterior"

Mata " Uveitis Anterior"



BAB I
PENDAHULUAN

Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan badan siliar (pars plikata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea, dan sklera. Berdasarkan reaksi radang , uveitis anterior dibedakan atas 2 tipe yaitu tipe granulomatosa dan tipe non granulomatosa.
Penyebab uveitis anterior dapat bersifat endogen maupun eksogen. Teori patologisnya beragam, meliputi proses imunologik, komponen geetik, penyakit infeksi mikroba, reaksi kompleks imun, reaksi toksik disebabkan oleh tumbuhan dan obat-obatan, dan infeksi fokal, selama dekade terakhir ini ditemukan penyebab baru uveitis anterior dan akibat tindakan pembedahan dalam bola mata (Ardy,1993). Lebih dari 75% uveitis endogen tidak diketahui penyebabnya, namun 37% kasus di antaranya ternyata merupakan reaksi imunologik yang berkaitan dengan penyakit sistemik. Penyakit sistemik yang berhubungan dengan uveitis anterior meliputi: spondilitis ankilosa, sindromaReiter, artritis psoriatika,penyakit Crohn, kolitis ulserativa, dan penyakit Whipple (Suhardjo dan Gunawan, 1993).
Uveitis anterior merupakan salah satu radang di dalam bola mata yang paling sering dijumpai, dengan insidensi pertahun bervariasiantara 8,2­12 setiap 100.000 penduduk. Dari survei di rumah sakit di Ghana tahun 1990 uveitis merupakan penyebab kebutaan dua mata urutan ketiga setelah katarak dan glaukoma (Sjamsoe,1993). Kebutaan dari uveitis anterior disebabkan oleh penyulit-penyulit yang ditimbulkan akibat kronisitas dan rekurensi perjalanan penyakit (Ardy, 1993).
Gejala-gejala uveitis anterior meliputi: mata merah, fotofobia, lakrimasi, rasa sakit, dan penglihatan kabur. Mata yang terkena biasanya satu pihak, disertai dengan adanya flare dan sel di dalam bilik mata depan; jarang dijumpai adanya hipopion. Variasi gejala sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan faktor penyebab. Uveitis anterior yang disebabkan oleh reaksi anafilaksis terhadap protein lensa akan didominir oleh adanya sel-sel besar di bilik mata depan; sedang jika disebabkan oleh sindroma Reiter justru didominir oleh eksudat fibrin dan sel-sel kecil atau lazim disebut radang non granulomatosa (Suhardjo dan Gunawan, 1993).
Dalam menentukan penyebab uveitis anterior, sering dijumpai banyak kendala di Indonesia. Pemeriksaan cairan hasil parasentesis dari bilik mata depan merupakan pemeriksaan yang lazim dikerjakan untuk menegakkan diagnosis, namun hal tersebut masih sulit diterima para pasien mengingat risiko tindakan juga tidak ringan. Di samping itu, beberapa teknik pemeriksaan laboratorium terutama yang menyangkut pemeriksaan imunologik masih relatif mahal (Suhardjo dan Gunawan, 1993).
Manajemen uveitis anterior adalah bertujuan untuk mencegah kerusakan stuktur dan fungsi mata seperti sinekia anterior, sinekia posterior, kerusakan pembuluh darah iris, katarak, glaukoma, parut kornea, dan kekeruhan badan kaca. (Ardy, 1993)






















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

  1. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Uvea merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata yang terdiri dari iris, korpus siliar, dan koroid. Bagian ini dilindungi oleh kornea dan sklera. Uvea ikut memasok darah ke retina. Uvea dibagi menjadi 2 bagian yaitu uvea anterior yang terdiri dari iris dan badan siliar dan uvea posterior yaitu koroid (Wijana, 1993; Vaughan et al, 2000). Dalam tulisan ini hanya dibahas mengenai uveia anterior saja.

    1. Iris
Iris adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris berupa permukaan pipih dengan apertura bulat di tengahnya yang disebut dengan pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa, yang memisahkan kamera okuli anterior dan kamera okuli posterior, yang masing-masing berisi humor aqueus. Di dalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator (Wijana,1993; Voughan et al,2000).
Secara histologis terdiri dari stroma yang jarang dan diantaranya terdapat lekukan-lekukan di permukaan anterior yang berjalan radier yang dinamakan kripta. Di dalam stroma terdapat sel pigmen yang bercabang, banyak pembuluh darah dan serabut saraf. Di permukaan anterior ditutupi oleh endotel, terkecuali pada kripta, di mana pembuluh darah pada stroma dapat berhubungan langsung dengan kamera okuli anterior. Di bagian posterior dilapisi oleh dua lapisan epitel, yang merupakan lanjutan epitel pigmen retina. Warna dari iris tergantung dari sel-sel pigmen yang bercabang yang terdapat di dalam stroma yang jumlahnya dapat berubah-ubah dan juga epitel pigmen yang jumlahnya tetap (Wijana,1993).
Ada 2 otot yang ada di dalam iris antara lain otot sfingter pupil (M. sphincter pupillae) yang berjalan sirkuler, yang terletak di dalam dekat pupil dan dipersarafi oleh saraf parasimpatis (N. III), dan otot dilatator pupil (M. dilatator pupillae) yang berjalan radier dari akar iris ke pupil, terletak di bagian posterior stroma dan disarafi oleh saraf simpatis (Wijana, 1993)
Pasokan darah ke iris berasal dari circulux major iris. Kapiler-kapiler iris memiliki lapisan endotel yang tak berlubang sehingga normalnya tidak membocorkan fluoresin yang disuntikkan secara intravena. Persyarafan iris adalah melalui serat-serat nervus siliare (Voughan, 2000).
Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas parasimpatik yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktifitas simpatik (Voughan, 2000).
Cahaya yang mengenai mata diterima oleh sel-sel batang dan kerucut di retina, diteruskan oleh N. II ke kiasma optikum, radiasio optika, setinggi korpus genikulatum lateral, serat pupilomotor melepaskan diri ke brachium kolikulus superior, ke midbrain, komisura posterior di daerah pretektalis, kemudian mengadakan semidikusasi dan keduanya menuju ke nucleus Edinger Westphal di kedua sisi. Dari sini keluar saraf eferen (saraf parasimpatis) yang memasuki N. III, ke ganglion siliaris, serat saraf postganglioner melalui Nn. siliaris brevis (Wijana,1993).
Menurut Wijana (1993), bila seseorang melihat suatu objek pada jarak dekat, maka terjadi trias akomodasi yaitu:
  • Kontraksi dari otot siliaris yang berguna agar zonula Zinii mengendor, lensa dapat mencembung, sehingga cahaya yang datang dapat difokuskan ke retina.
  • Konstriksi dari otot rektus internus, sehingga timbul konvergensi dan mata tertuju pada benda itu.
  • Konstriksi otot konstriksi pupil dan timbullah miosis, supaya cahaya yang masuk tak berlebih, dan terlihat dengan jelas.


Gambar 2. Uvea Depan (Ghozie,2000)


    1. Korpus Siliaris
Pada potongan melintang korpus siliare secara kasar berbentuk cincin segitiga yang membentang ke depan dari ujung anterior khoroid ke pangkal iris (± 6mm). Terdiri dari dua zona, yaitu zona anterior dengan permukaan berjonjot lekuk dan menonjol yang disebut dengan pars pikata (± 2mm), dan zona posterior yang datar dengan permukaan licin disebut pars plana (± 4mm). Processus siliaris ini berasal dari pars plikata. Processus siliaris ini terutama terbentuk dari kapiler-kapiler dan vena yang bermuara ke vene-vena vorteks. Kapiler-kapilernya besar dan berlobang-lobang sehingga membocorkan fluoresin yang disuntikkan secara intravena. Ada dua lapis epitel siliaris: satu lapisan tanpa pigmen di sebelah dalam, yang merupakan perluasan neuroretina ke anterior, dan lapisan berpigmen di sebelah luar, yang merupakan perluasan lapisan epitel pigmen retina. Prosessus siliaris dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk humor aquaeus (Voughan, 2000; Ghozie, 2002).
Korpus siliaris mengandung otot polos yang tersusun longitudinal, sirkular, dan radial. Otot-otot ini berfungsi untuk menarik dan mengendorkan serabut zonula Zinni, yang menghasilkan perubahan tegangan pada kapsul lensa. Ketegangan kapsul lensa yang berubah akan menyesuaikan kekuatan lensa mata sesuai dengan jarak benda yang dilihat agar bayangannya tepat di retina (Ghozie, 2002).
Procesus siliaris mengandung terutama pembuluh kapiler dan venanya yang menumpahkan darahnya ke luar melalui vena vorticosa. Kapilernya besar dan mudah dirembesi larutan suntikan fluresin. Pars plana terdiri atas selapis tipis otot siliaris dan pembuluh siliar yang diselimuti epitel siliar. Serabut zonula berorigo di lekukan dari procesus siliaris (Ghozie, 2000).
Pembuluh darah dibadan siliar berasal dari sirkulus iridis mayor, sedang syaraf sensoris berasal dari syaraf siliaris (Voughan, 2000; Ghozie, 2002).


  1. DEFINISI UVEITIS ANTERIOR
Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan korpus siliare (pars plikata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea dan sklera (Ardy, 1993)
Menurut American Optometric Association (AOA) tahun 2004, uveitis anterior adalah suatu proses inflamasi intraokular dari bagian uvea anterior hingga pertengahan vitreus. Penyakit ini dihubungkan dengan trauma bola mata, dan juga karena berbagai penyakit sistemik seperti juvenile rheumatoid, artritis, ankylosing spondilitis, Sindrom Reiter, sarcoidosis, herpes zoster, dan sifilis.

  1. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia belum ada data yang akurat mengenai jumlah kasus uveitis . Di Amerika Serikat ditemukan angka kejadian uveitis anterior adalah 8-12 orang dari 100.000 penduduk per tahun. Insidensinya meningkat pada usia 20-50 tahun dan paling banyak pada usia sekitar 30-an (Sjamsoe, 1993; AOA, 2004)
Menurun AOA (2004), berdasarkan etiologinya ada beberapa faktor resiko yang menyertai kejadian uveitis anterior antara lain, penderita toxoplasmosis dan yang berhubungan dengan hewan perantara toxoplasma. Beberapa penyakit menular seksual juga meningkatkan angka kejadian uveitis anterior seperti sifilis, HIV, dan sindroma Reiter.

  1. KLASIFIKASI
Berdasarkan spesifitas penyebabnya uveitis anterior dapat dibagi atas uveitis infeksius, uveitis non infeksius, dan uveitis tanpa penyebab yang jelas. Uveitis infeksius dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, dan virus. Uveitis non infeksius dapat disebabkan oleh agen non spesifik (endotoksin dan mediator peradangan lainnya), agen spesifik pada mata (oftalia simpatika, uveitis imbas lensa), dan penyakit sistemik seperti Behcet, sarkoidosis, sindroma Reiter, dll (Sjamsoe,1993).
Berdasarkan asal nya uveitis anterior dibedakan menjadi, uveitis eksogen dan uveitis endogen. Uveitis eksogen pada umumnya dikarenakan oleh trauma, operasi intra okuler, ataupun iatrogenik. Sedangkan uveitis endogen dapat disebabkan oleh fokal ifeksi di organ lain maupun reaksi autoimun ( Anonim,2008).
Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakitnya) uveitis anterior dibedakan menjadi uveitis anterior akut dan uveitis anterior kronis. Uveitis anterior akut biasanya timbulnya mendadak dan perjalanan penyakitnya kurang dari 5 minggu. Sedangkan yang kronik mulainya berangsur-angsur, dan perjalanan penyakitnya dapat berbulan-bulan maupun tahunan (Ardy, 1993).
Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan patologi anatominya terdiri dari tipe granulomatosa dan non granulomatosa. Tipe granulomatosa infiltratnya terdiri dari sel epiteloid dan makrofag. Sedangkan tipe non granulomatosa infiltratnya terdiri dari sel plasma dan limfosit (Ardy,1993; anonim, 2008).
Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan ICD-9-CM dibagi atas:
  • Uveitis anterior akut
    • Uveitis anterior traumatik
    • Uveitis anterior idiopatik
    • Uveitis berhubungan dengan HLA-B27
    • Sindrom Behcet
    • Uveitis anterior terinduksi lensa
    • Sindrom Masquerade
  • Uveitis anterior kronis
    • Juvenile rheumatoid arthritis
    • Uveitis anterior dengan uveitis posterior primer
    • Fuchs’ heterocromic iridocyclitis
  1. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa golongan antara lain: autoimun, infeksi, keganasan, dan lain-lain. Penyebab autoimun terdiri dari: artritis Rhematoid juvenile, spondilitis ankilosa, sindrom Reiter, kolitis ulseratif, uveitis terinduksi-lensa, sarkoidosis, penyakit crohn, psoriasis. Penyebab infeksi terdiri dari: sipilis, tuberkulosis, lepra, herpes zooster, hepes simpleks, onkoserkiasis, adenovirus. Untuk penyebab keganasan terdiri dari: sindrom masquerada, retinoblastoma, leukemia, limfoma, melanoma maligna. Sedangkan yang lainnya berasal dari: iridopati, uveitis traumatika, ablatio retina, gout, dan krisis glaukomatosiklitik (Voughan, 2000).
Selain itu menurut Rosenbaum (2007) etiologi dari uveitis anterior digolongkan menurut agen penyebab infeksi, seperti dalam tabel berikut:
Tabel 1. Etiologi uveitis anterior menurut golongkan agen penyebab infeksi
BACTERIAL/
SPIROCHETAL
VIRAL
FUNGAL
PARASITIC
  • Atypical mycobacteria
  • Brucellosis
  • Cat scratch disease
  • Leprosy
  • Leptospirosis
  • Lyme disease
  • Propionibacteri-um
  • Syphilis
  • Tuberculosis
  • Whipple's disease
  • Cytomegalovirus
  • Epstein-Barr
  • Herpes simplex
  • Herpes zoster
  • Human T cell leukemia virus
  • Mumps
  • Rubeola
  • Vaccinia
  • HIV-1
  • West Nile virus
  • Aspergillosis
  • Blastomycosis
  • Candidiasis
  • Coccidioido-mycosis
  • Cryptococcosis
  • Histoplasmosis
  • Sporotrichosis
  • Acanthamoeba
  • Cystercercosis
  • Onchocerciasis
  • Pneumocystis carinii
  • Toxocariasis
  • Toxoplasmosis

Masih menurut Rosenbaum (2007) beberapa penyakit sistemik dapat berhubungan dengan uveitis, penyakit-penyakit tersebut diantaranya adalah:
  • Spondyloarthritides
  • Crohn's disease
  • Sarcoidosis
  • Behcet's disease
  • Hypersensitivity reactions
  • Tubulointerstitial nephritis
  • Juvenile rheumatoid arthritis
  • Kawasaki disease, multiple sclerosis, and relapsing polychondritis
  • Multiple sclerosis
  • Relapsing polychondritis
  • Sjögren's syndrome
  • Systemic lupus erythematosus
  • Systemic vasculitis
  • Granulomatous angiitis of the central nervous
  • Vogt-Koyanagi-Harada syndrome
  • AIDS
  • Blau syndrome
Uveitis anterior juga dapat disebabkan oleh infeksi fokal seperti: gigi, telinga, hidung, tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus digestivus, kulit, dan lain-lain. Trauma perforata dan oftalmia simpatika juga dapat menyebabkan uveitis anterior (Wijana, 1993)

  1. PATOFISIOLOGI
Peradangan traktus uvealis banyak penyebabnya dan dapat mengenai satu atau ketiga bagian secara bersamaan. Bentuk uveitis paling sering terjadi adalah uveitis anterior akut (iritis), umumnya unilateral dan ditandai dengan adanya riwayat sakit, fotopobia dan penglihatan kabur, mata merah, dan pupil kecil serta ireguler.
Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada oreng dewasa dan usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak diketahui. Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis: yang non-granulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa.
Uveitis non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yaitu iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrat sel-sel limfosit dan sel plasma dengan jumlah cukup banyak dan sedikit mononuklear. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di kamera okuli anterior (Vaughan, 2000).
Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor aqueus) yang memberi makanan kepada lensa dan kornea. Dengan adanya peradangan di iris dan badan siliar, maka timbullah hiperemi yang aktif, pembuluh darah melebar, pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat menyebabkan glaukoma sekunder. Selain oleh cairan bilik mata, dinding pembuluh darah dapat juga dilalui oleh sel darah putih, sel darah merah, dan eksudat yang akan mengakibatkan tekanan osmose cairan bilik mata bertambah dan dapat mengakibatkan glaukoma. Cairan dengan lain-lainya ini, dari bilik mata belakang melalui celah antar lensa iris, dan pupil ke kamera okuli anterior. Di kamera okuli anterior, oleh karena iris banyak mengandung pembuluh darah, maka suhunya meningkat dan berat jenis cairan berkurang, sehingga cairan akan bergerak ke atas. Di daerah kornea karena tidak mengandung pembuluh darah, suhu menurun dan berat jenis cairan bertambah, sehingga di sini cairan akan bergerak ke bawah. Sambil turun sel-sel radang dan fibrin dapat melekat pada endotel kornea, membentuk keratik presipitat yang dari depan tampak sebagai segitiga dengan endapan yang makin ke bawah semakin besar. Di sudut kamera okuli anterior cairan melalui trabekula masuk ke dalam kanalis Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila keluar masuknya cairan ini masih seimbang maka tekanan mata akan berada pada batas normal 15-20 mmHg. Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut kamera okuli anterior, sehingga alirannya terhambat dan terjadilah glaukoma sekunder. Galukoma juga bisa terjadi akibat trabekula yang meradang atau sakit (Wijana,1993)
Elemen darah dapat berkumpuk di kamera okuli anteror dan timbullah hifema (bila banyak mengandung sel darah merah) dan hipopion (yang terkumpul banyak mengandung sel darah putihnya). Elemen-elemen radang yang mengandung fibrin yang menempel pada pupil dapat juga menagalami organisasi, sehingga melekatkan ujung iris pada lensa. Perlekatan ini disebut sinekia posterior. Bila seluruh iris menempel pada lensa, disebut seklusio pupil sehingga cairan yang dari kamera okuli posterior tidak dapat melalui pupil untuk masuk ke kamera okuli anterior, iris terdorong ke depan, disebut iris bombe dan menyebabkan sudut kamera okuli anterior menyempit, dan timbullah glaukoma sekunder. Perlekatan-perlekatan iris pada lens menyebabkan bentuk pupil tidak teratur. Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan organisasi jaringan dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar dapat pula menyebabkan kekeruhan pada badan kaca, yang tampak seperti kekeruhan karena debu. Dengan adanya peradangan ini maka metabolisme pada lensa terganggu dan dapat mengakibatkan katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan kaca pun dapat mengakibtakan organisasi jaringan yang tampak sebagai membrana yang terdiri dari jaringan ikat dengan neurovaskularisasi dari retina yang disebut retinitis proloferans. Pada kasus yang lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasi retina (Wijana, 1993).

  1. GAMBARAN KLINIS
    1. Gejala Subyektif
Gejala subyektif uveitis anterior dapat berupa rasa nyeri, fotofobia , lakrimasi, dan mata kabur. Masing-masing gejala akan dijelaskan di bawah ini (Ardy, 1993 ; Gunawan, 1993 )
  • Nyeri
  • Uveitis anterior akut
Nyeri disebabkan oleh iritasi saraf siliar bila melihat cahaya dan penekanan saraf siliar bila melihat dekat. Sifat nyeri menetap atau hilang timbul.Lokalisasi nyeri bola mata, daerah orbita dan kraniofasial. Nyeri ini disebut juga nyeri trigeminal. Intensitas nyeri tergantung hiperemi iridosiliar dan peradangan uvea serta ambang nyeri pada penderita, sehingga sulit menentukan derajat nyeri.
  • Uveitis anterior kronik
Nyeri jarang dirasakan oleh penderita, kecuali telah terbentuk keratopati bulosa akibat glaukoma sekunder
  • Fotofobia dan lakrimasi
  • Uveitis anterior akut dan subakut
Ditandai dengan blefarospasmus. Fotofobia disebabkan spasmus siliar dan kelainan kornea bukan karena sensitif terhadap cahaya. Derajat 3+–4+ blefarospasmus menetap, ringan 1+–2+ bila disinari dengan sinar yang kuat baru timbul bleforaspasmus. Lakrimasi disebabkan oleh iritasi saraf pada kornea dan siliar, jadi berhubungan erat dengan fotofobia.
  • Uveitis anterior kronik
Gejala subyektif ini hampir tak ada atau ringan.
  • Kabur
Derajat kekaburan bervariasi mulai dari ringan sedang, berat, atau hilang timbul, tergantung penyebab.
  • Uveitis anterior akut
Disebabkan oleh pengendapan fibrin, edema kornea, kekeruhan akuos, dan badan kaca depan karena eksudasi sel radang dan fibrin.
  • Uveitis anterior residif atau kronis
Disebabkan oleh kekeruhan lensa, badan kaca, dan kelainan kornea seperti edema, lipatan Descemet, vesikel epitel dan keratopati. Edema kornea akibat glaukoma sekunder dapat mengalami kalsifikasi. Pada infeksi herpes simpleks terdapat edema menetap disertai neovaskularisasi stroma perifer dan pannus kornea.

    1. Gejala Obyektif
Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah, oftalmoskopik direk dan indirek, bila diperlukan angiografi fluoresen atau ultrasonografi. Menurut Ardy (1993) pada pemeriksaan akan ditemukan hasil di bawah ini.
  • Hiperemi
Pemeriksaan dilakukan dengan iluminasi fokal dalam ruang gelap. Merupakan gambaran bendungan pembuluh darah sekitar kornea atau limbus. Gambaran merupakan hiperemi pembuluh darah siliar 360 sekitar limbus, berwarna ungu.
  • Uveitis anterior akut
Merupakan tanda patognomonik dan gejala dini. Bila hebat hiperemi dapat meluas sampai pembuluh darah konjungtiva.
  • Uveitis anterior hiperakut
Selain dari hiperemi dapat disertai gambaran skleritis dan keratitis marginalis. Hiperemi sekitar kornea disebabkan oleh peradangan pada pembuluh darah siliar depan dengan refleks aksonal dapat difusi ke pembuluh darah badan siliar. Hubungan derajat hiperemi dengan kelainan kornea mengikuti pembagian Hogan (1959).
Derajat 0 : Hiperemi sekitar kornea dan kelainan kornea tidak ada.
Derajat 1 : Hiperemi sekitar kornea dan edema kornea ringan.
Derajat 2 : Hiperemi sekitar kornea jelas dan difus, disertai hiperemi pembuluh darah episklera dan konjungtiva. Edema stroma dan epitel kornea difus dengan lipatan membran Descemet.
Derajat 3 : Hiperemi hebat sekitar kornea disertai hiperemi difus episklera dan konjungtiva. Edema difus stroma dan epitel kornea, lipatan Descemet, vaskularisasi perifer disertai permulaan fibrosis daerah tertentu stroma kornea.
Derajat 4 : Injeksi kornea, hiperemi pembuluh darah konjungtiva, kemosis. Edema hebat stroma, keratitis bulosa dan vaskularisasi perifer.
  • Perubahan kornea
  • Keratik presipitat
Terjadi karena pengendapan agregasi sel radang dalam bilik mata depan pada endotel kornea akibat aliran konveksi akuwos humor, gaya berat dan perbedaan potensial listrik endotel kornea. Lokalisasi dapat di bagian tengah dan bawah dan juga difus.
Keratik presipitat dapat dibedakan :
  • Baru dan lama :
    • baru bundar dan berwarna putih.
    • lama mengkerut, berpigmen, lebih jernih.
  • Jenis sel :
    • lekosit berinti banyak kemampuan aglutinasi rendah, halus keabuan.
    • limfosit kemampuan aglutinasi sedang membentuk kelompok kecil bulat batas tegas, putih.
    • makrofag kemampuan aglutinasi tinggi tambahan lagi sifat fagositosis membentuk kelompok lebih besar dikenal sebagai mutton fat.
  • Ukuran dan jumlah sel :
    • halus dan banyak terdapat pada iritis dan iridosiklitis akut, retinitis/koroiditis, uveitis intermedia. Uveitis anterior akut dengan etiologi penyakit sendi dan infeksi fokal.
    • kecil dan hanya beberapa, terdapat pada Sindrom Posner-Schlossman.
    • mutton fat keabuan dan agak basah. Terdapat pada uveitis granulomatosa disebabkan oleh tuberkulosis, sifilis, lepra, Vogt-Koyanagi-Harada dan simpatik oftalmia. Juga ditemui padauveitis non granulomatosa akut dan kronik yang berat. Mutton fat dibentuk oleh makrofag yang bengkak oleh bahan fagositosis dan set epiteloid berkelompok atau bersatu membentuk kelompok besar. Pada permulaan hanya beberapa dengan ukuran cukup besar karena hidratasi dan tiga dimensi, lonjong batas tidak teratur. Bertambah lama membesar, menipis dan berpigmen akibat fagositosis pigmen uvea, dengan membentuk daerah jernih padaendotel kornea. Pengendapan Mutton fat sulit mengecil dan sering menimbulkan perubahan endotel kornea gambaranmerupakan gelang keruh di tengah karena pengendapan pigmendan sisa hialin sel.
  • Kelainan kornea
  • Uveitis anterior akut
Keratitis dapat bersamaan dengan keratouveitis dengan etiologi tuberkulosis, sifilis, lepra, herpes simpleks, herpes zoster atau reaksi uvea sekunder terhadap kelainan kornea.
  • Uveitis anterior kronik
Edema kornea disebabkan oleh perubahan endotel dan membran Descemet dan neovaskularisasi kornea.
Gambaran edema kornea bcrupa lipatan Descemet dan vesikel pada epitel kornea. Harus dibedakan dari keratitis profunda misalnya keratitis disciformis dengan edema menetap, neovaskularisasi stroma perifer dan pannus.
Keratopati band akibat tekanan bola mata meninggi dan iridosiklitis pada anak.

  • Kekeruhan bilik mata
Kekeruhan dalam bilik mata depan dapat disebabkan oleh meningkatnya kadar protein, sel, dan fibrin.
  • Efek tyndal
Efek tyndal menunjukkan ada atau menetapnya peradangan dalam bola mata
  • Uveitis anterior akut
Kenaikan jumlah sel dalam bilik depan mata sebanding dengan derajat peradangan dan penurunan jumlah sel sesuai dengan penyembuhan pada pengobatan uveitis anterior.
  • Uveitis anterior kronik
Terdapat efek Tyndall menetap dengan beberapa sel menunjukkan telah terjadi perubahan dalam permeabilitas pembuluh darah iris.
Bila terjadi peningkatan efek Tyndall disertai dengan eksudasi sel menunjukkan adanya eksaserbasi peradangan.
  • Sel
Sel radang berasal dari iris dan badan siliar. Pengamatan sel akan terganggu bila efek Tyndall hebat. Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah dalam ruangan gelap dengan celah 1 mm dan tinggi celah 3 mm dengan sudut 45. Dapat dibedakan sel yang terdapat dalam bilik mata depan.
Jenis sel :
– limfosit dan sel plasma bulat, mengkilap putih keabuan.
– makrofag lebih besar, wama tergantung bahan yang difagositosis.
– sel darah berwarna merah.
– pigmen kecil dan coklat.
  • Fibrin
Dalam humor akuos berupa gelatin dengan sel, berbentuk benang atau bercabang, wama kuning muda, jarang mengendap pada kornea.
Terdapat pada iridosiklitis akut dan berat karena eksudasi fibrin ke dalam bilik depan mata (iritis plastik).
  • Hipopion
Merupakan pengendapan sel radang pada sudut bilik mata depan bawah. Pengendapan terjadi bila derajat sel dalam bilik depan lebih dari 4+.
Hipopion dapat ditemui pada uveitis anterior hiperakut dengan sebutan sel lekosit berinti banyak, biasanya karena rematik, juga pada penyakit Behcet, dan fakoanafilaktik.
Hipopion harus dibedakan dari pseudohipopion yang disebutkan juga kelompok sindrom masquerade. Untuk membedakan harus dilakukan pemeriksaan dengan pupil yang telah dilebarkan dengan midriatik. Sindrom Masquerade disebabkan oleh iridoskisis, atrofi iris esensial, limfoma maligna, leukemi, sarkoma sel retikulum, retinoblastoma, pseudoeksfoliatif dan tumor metastasis.
  • Hiperemi iris
Merupakan gejala bendungan pada pembuluh darah iris. Edema dan eksudasi pada stroma iris, keadaan ini dipermudah karena iris kaya dengan pembuluh darah sehingga struktur iris normal hilang dan gambaran iris kusam coklat keabuan.
Gambaran bendungan dan pelebaran pembuluh darah iris kadang-kadang tidak terlihat karma ditutupi oleh eksudasi sel.
Gambaran hiperemi ini harus dibedakan dari rubeosis iridis dengan gambaran hiperemi radial tanpa percabangan abnormal.
  • Miosis pupil
Pupil mengecil karena edema dan pembengkakan stroma iris karena iritasi akibat peradangan langsung pada sfingter pupil. Reaksi pupil terhadap cahaya lambat disertai nyeri.
  • Nodul iris
Nodul tidak sesuai karena pengendapan agregasi sel dalam stroma tidak selalu menimbulkan kerusakan jaringan. Dibentuk oleh limfosit, sel plasma dan jarang makrofag. Dapat ditemui pada iritis atau iridosiklitis kronik. Nodul iris tidak selalu menunjukkan peradangan granulomatosa.
  • Nodul Kocppe
Lokalisasi pinggir pupil, banyak, menimbul, bundar, ukuran kecil, jernih, warna putih keabuan. Proses lama nodul Kocppe mengalami pigmentasi baik pada permukaan atau lebih dalam merupakan hiasan dari iris.
  • Nodul Busacca
Merupakan agregasi sel yang tcrjadi pada stroma iris nodul Koeppe, terlihat scbagai benjolan putih pada permukaan depan iris. Juga dapat ditemui bentuk kelompok dalam liang setelah mengalami organisasi dan hialinisasi. Nodul Busacca merupakan tanda uveitis anterior granulomatosa.
  • Granuloma iris
Lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan nodul iris. Granuloma iris merupakan kelainan spesifik pada peradangan granulomatosa seperti tuberkulosis, lepra dan lain-lain. Ukuran lebih besar dari kelainan pada iris lain. Terdapat hanya tunggal, tebal padat, menimbul, warna merah kabur, dengan vaskularisasi dan menetap. Bila granuloma hilang akan meninggalkan parut karena proses hialinisasi dan atrofi jaringan.
  • Sinekia iris
Merupakan perlengkapan iris dengan struktur yang berdekatan pada uveitis anterior karena eksudasi fibrin dan pigmen, kemudian mengalami proses organisasi sel radang dan fibrosis iris.
  • Sinekia posterior
Merupakan perlengketan iris dengan kapsul depan lensa. Perlengketan dapat berbentuk benang atau dengan dasar luas dan tebal. Bila luas akan menutupi pupil, dengan pemberian midriatika akan berbentuk bunga. Bila eksudasi fibrin membentuk sinekia seperti cinein, bila seklusi sempurna akan memblokade pupil (iris bombe). Kelainan ini dapat dijumpai pada uveitis granulomatosa atau nongranulomatosa, lebih sering bentuk akut dan subakut, dengan fibrin cukup banyak. Ditemui juga pada bentuk residif bila efek Tyndall berat.
  • Uveitis anterior akut
Belum terjadi proses organisasi, sehingga sinekia posterior lebih mudah lepas dengan midriatika, dengan meninggalkan jejak pigmen sedikit banyak pada kapsul depan lensa.
  • Uveitis anterior kronik
Sinekia posterior dibentuk oleh jaringan fibrotik keabuan tanpa distorsi pupil tetapi dengan perubahan pinggir pupil.
  • Sinekia anterior
Perlengketan iris dengan sudut irido-kornea, jelas terlihat dengan gonioskopi. Sinekia anterior timbul karena pada permulaan blok pupil sehingga akar iris maju ke depan menghalangi pengeluaran akuos, edema dan pembengkakan pada dasar iris, sehingga setelah terjadi organisasi dan eksudasi pada sudut iridokornea menarik iris ke arah sudut.
Sinekia anterior bukan merupakan gambaran dini dan determinan uveitis anterior, tetapi merupakan penyulit peradangan kronik dalam bilik depan mata.
  • Oklusi pupil
Ditandai dengan adanya blok pupil oleh seklusi dengan membran radang pada pinggir pupil.
  • Uveitis anterior akut
Eksudasi protein dalam bilik depan mata disertai tarikan hebat dacrah pupil.
  • Uveitis anterior kronik
Proses organisasi sehingga membran radang berubah menjadi membran fibrotik dengan neovaskularisasi.
Pada kasus yang berat karena kontraksi dan retraksi membran fibrovaskular dapat menyebabkan eversi epitel pigmen sehingga terjadi ektropion uvea.
  • Atrofi iris
Merupakan degenerasi tingkat stroma dan epitcl pigmen belakang.
  • Uveitis anterior kronik atau eksaserbasi akut
Terlihat derajat tertentu dari bendungan dan hiperemi stroma, sehingga iris kehilangan struktur normal, karena mengalami fibrosis karena hilang dan homogenisasi struktur iris berupa depigmentasi.
Atrofi iris dapat difus, bintik atau sektoral. Atrofi iris sektoral terdapat pada iridosiklitis akut disebabkan oleh virus, terutama herpetik.
  • Kista iris
Jarang dilaporkan pada uveitis anterior. Penyebab ialah kecelakaan, bedah mata dan insufisiensi vaskular. Kista iris melibatkan stroma yang dilapisi epitel seperti pada epitel kornea.Pada beberapa keadaan, epitel yang melapisi kista keratinisasi sehingga lesi diisi oleh bahan keratin, yang terlihat seperti mutiara.
  • Perubahan sel lensa
Dikenal 3 bentuk perubahan pada lensa akibat uveitis anterior, yaitu: pengendapan set radang, pigmen dan kekeruhan lensa.
  • Pengendapan sel radang
Akibat eksudasi ke dalam akuos di atas kapsul lensa terjadi pengendapan pada kapsul lensa. Pada pemeriksaan lampu celah ditemui kekeruhan kecil putih keabuan, bulat, menimbul, tersendiri atau berkelompok pada permukaan lensa.
  • Pengendapan pigmen
Bila terdapat kelompok pigmen yang besar pada permukaan kapsul depan lensa, menunjukkan bekas sinekia posterior yangtelah lepas. Sinekia posterior yang meny,erupai lubang pupil disebut cincin dari Vossius.
  • Perubahan kejernihan lensa
Kekeruhan lensa disebabkan oleh toksik metabolik akibat peradangan uvea dan proses degenerasi-proliferatif karena pembentukan sinekia posterior. Luas kekeruhan tergantung pada tingkat perlengketan lensa-iris, hebat dan lamanya penyakit.
Akibat perlengketan iris terjadi pencairan serat.
  • Uveitis anterior kronik
Terjadi perubahan degeneratif di depan kapsul depan dan subkapsul belakang. Predileksi daerah sentral menunjukkan telah timbul reaksi hipersensitivitas daerah lensa tersebut terhadap stimuli toksik metabolik. Kekeruhan subkapsul belakang dapat disebabkan pemberian kortikosteroid lokal atau sistemik.
Kekeruhan lensa (katarak) sering merupakan penyulit uveitis anterior kronik atau residif. Reaksi radang pada uveitis anterior lebih sering mempercepat kekeruhan pada katarak senilis.
  • Perubahan dalam badan kaca
Kekeruhan badan kaca timbul karena pengelompokan sel, eksudat fibrin dan sisa kolagen, di depan atau belakang, difus, berbentuk debu, benang, menetap atau bergerak. Agregasi terutama oleh sel limfosit, plasma dan makrofag.
Iridosiklitis dapat dibedakan dari iritis dengan ditemui sel dan kekeruhan di ruang belakang lensa dan badan kaca depan akibat eksudasi badan siliar.
  • Uveitis serosa, ditemukan sebukan halus, kekeruhan putih keabuan.
  • Uveitis plastik ditemukan lembaran keabuan atau membranasiklitik di belakang lensa.
Kekeruhan badan kaca tidak berkurang melainkan akan bertambah. Bila lebih banyak sel melekat terlihat penebalan benda kaca dan terpisah.
Pada kasus uveitis anterior residif dan kronik tidak terkontrol, akan mengalami regresi dan pemecahan jaringan kolagen, pencairan dan retraksi, sehingga mengakibatkan lepas badan kaca. Efek Tyndall dan set dalam ruang belakang badan kaca akibat masuknya eksudasi radang melalui hialod belakang yang rusak. Badan kaca yang mengalami kerusakan akan membentuk perlengkctan dan kckeruhan bersama set radang dan membentuk eksudat berupa salju, tipikal pada uveitis intermedia, dan posterior. Kekeruhan ini akan bertambah membundar, keabuan, mengkilap bergerak di atas badan kaca perifer.
Pada uveitis anterior tidak begitu berat, terjadi perubahan bagian depan badan kaca, tetapi dapat meluas ke seluruh badan kaca dan setelah mengalami proses regresi organisasi dapat menimbulkan penyulit vitreo-retina.
  • Perubahan tekanan bola mata
Tekanan bola mata pada uveitis anterior dapat rendah (hipotoni), normal atau meningkat (hipertoni).
  • Hipotoni
  • Uveitis anterior akut
Hipotoni timbul karena sekresi badan siliar berkurang karena peradangan.
  • Uveitis anterior kronik
Hipotoni menetap karena perubahan badan siliar dan dapat mengakibatkan atrofi bola mata.
  • Normotensi
Menunjukkan berkurangnya peradangan dan perbaikan bilik depan mata.
  • Hipertoni
Hipertoni dini ditemui pada uveitis hipertensif akibat blok pupil dan sudut irido-kornea oleh sel radang dan fibrin yang menyumbat saluran Schlemm dan trabekula. Hipertoni dijumpai juga pada uveitis disebabkan oleh virus herpes simpleks, zoster dan sindrom Posner Schlossman.

Tabel 2. Perbedaan Uveitis Granulomatosa
dan Non Granulomatosa

Non granulomatosa
Granulomatosa
Onset
Akut Tersembunyi
Sakit
Nyata Tak ada atau ringan
Fotofobia
Nyata Ringan
Penglihatan kabur
Sedang Nyata
Merah sirkumkorneal
Nyata Ringan
Presipitat keratik
Putih halus Kelabu besar
Pupil
Kecil dan tak tratur
Kecil dan tak teratur (bervariasi)
Sinekia posterior
Kadang-kadang Kadang-kadang
Nodul iris
Kadang-kadang Kadang-kadang
Tempat
Uvea anterior Uvea anterior dan posterior
Perjalanan
Akut Menahun
Rekurensi
Sering Kadang-kadang
(Vaughan, 2000)


  1. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium yang mendalam umumnya tidak diperlukan untuk uveitis anterior, apalagi untuk tipe non-granulomatosa. Tes kulit terhadap tuberkulosis dan histoplasmosis dapat berguna demikian juga antibodi terhadap toksoplasmosis. Berdasarkan tes-tes ini dan gambaran kliniknya, seringkali dapat ditegakkan diagnosa etiologinya (Vaughan, 2000)
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat mendukung dalam penegakan diagnosa dan etiologi adalah radiografi thorak dan fluorescent treponemal antibody absorption (FTA-ABS). Berikut adalah pemeriksaan dan indikasi pada penegakan diagnosa dan etiologi uveitis anterior menurut George (2007) dan AOA (2004):
  • Radiografi thorak untuk Sarkoidosis dan TB
  • Tes darah rutin untuk membedakan penyebab bakteri atau virus dan mengetahui keganasan seperti limfoma dan leukimia.
  • FTA-ABS test untuk Sifilis
  • VRDL untuk sifilis
  • Purified protein derivative (PPD) test untuk TB
  • Angiotensin-converting enzyme (ACE) test untuk Sarkoidosis
  • Antinuclear antibody (ANA) untuk SLE dan juvenile rheumatoid arthritis.
  • HLA-B27 typing untuk ankylosing spondilytis, sindrom Reiter, inflammantory bowel disease, psoriasis artritis, sindrom Behcet.
  • Gallium scan untuk Sarkoidosis
  • Anergy evaluation untuk Sarkoidosis
  • Toxoplasmosis enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
  • MRI pada kepala akan membantu dalam penegakan cases of intraocular (CNS) lymphoma.
  • Pada pasien dengan indikasi sarkoidosis dan pada pemeriksaan radiografi thorak negatif, pemeriksaan CT thorak untuk mengetahui hilar adenopathy.

  1. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding uvetis anterior menurut Vaughan (2000) antara lain:
  • Konjungtivitis: penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, ada tahi mata dan umumnya tidak ada sakit, fotofobia, atau injeksi siliaris.
  • Keratitis atau keratokunjungtivitis: penglihatan dapat kabur dan ada rasa sakit dan fotofobia. Beberapa penyebab keratitis seperti herpes simpleks dan herpes zooster dapat menyertai uveitis anterior sebenarnya.
  • Glaukoma akut: pupil melebar, tidak ada sinekia posterior, dan korneanya beruap.
  • Setelah serangan berulang kali,uveitis non-granulomatosa dapat menunjukkan ciri uveitis granulomatosa

  1. TERAPI
Tujuan terapi uveitis anterior menurut AOA (2004), antara lain:
  • Mengembalikan tajam penglihatan,
  • Mengurangi rasa nyeri di mata,
  • Mengeliminasi peadangan atau penyebab pradangan,
  • Mencegah terjadinya sinekia iris,
  • Mengendalikan tekanan intraokular.
Sedangkan prinsip pengobatan uveitis menurut Sjamsoe (1993) antara lain:
  • Menekan peradangan,
  • Mengeliminir agen penyebab,
  • Menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata dan organ tubuh di luar mata.
Pada refrat ini akan dibahas terapi spesifik dan terapi non spesifik untuk uveitis anterior menurut Sjamsoe (1993).
    1. Terapi Non Spesifik
Tiga jenis obat yang digunakan sebagai terapi non spesifik pada uveitis yaitu midriatik-sikloplegik, kortikosteroid, dan imunosupresan.
  • Midriatik-sikloplegik
Semua sikloplegik merupakan agen antagonis kolinergik yang bekerja dengan menghambat neurotransmiter pada reseptor sfingter iris dan korpus silier. Pada pengobatan uveitis anterior sikloplegik bekerja dengan 3 cara yaitu:
    • Mengurangi nyeri karena imobilisasi iris
    • Mencegah adesi iris ke kapsula lensa anterior (sinekia posterior), yang dapat meningkatkan tekanan intraokular dan menyebabkan glaukoma sekunder.
    • Menyetabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya flare.
Agen sikloplegik yang digunakan dalam terapi uveitis anterior menuruut AOA (2004) antara lain:
    • Atropine 0,5%, 1%, 2%
    • Homatropin 2%, 5%
    • Scopolamine 0,25%
    • Cyclopentolate 0,5%, 1%, 2%.
  • Kortikosteroid
Semua orang setuju bahwa kortikosteroid merupakan terapi non spesifik yang bermanfaat pada uveitis. Efek samping baik topikal maupun sistemik telah kita ketahui, akan tetapi tidak ada salahnya diingatkan kembali tentang cara kerja variasi efek anti inflamasi, efek samping dan potensi preparat steroid yang dipakai dalam pengobatan uveitis. Pengobatan peradangan intra okular dengan kortikosteroid dimulai pada tahun 50-an. Ada 2 cara pengobatan kortikosteroid pada uveitis:
    • Lokal : Tetes mata, dan injeksi peri okular
    • Sistemik
      • Lokal
Pengobatan uveitis anterior dengan steroid dan midriatik sikloplegik lokal adalah paling logis dan efektif. Dosis maksimal dapat dicapai dengan efek samping yang minimal. Dan apabilaterjadi komplikasi, maka obat ini dapat segera distop.
        • Tetes mata
Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh sifat kornea sebagai sawar terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata, sehingga daya tembus obat topikal akan tergantung pada:
a. Konsentrasi dan frekuensi pemberian
Makin tinggi konsentrasi obat dan makin sering frekuensi pemakaiannya, maka makin tinggi pula efek antiinflamasinya.
b. Jenis kortikosteroid
Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan preparat dexametason, betametason dan prednisolon karena penetrasi intra okular baik, sedangkan preparat medryson, fluorometolon dan hidrokortison hanya dipakai pada peradangan pada palpebra, konjungtiva dan kornea superfisial.
c. Jenis pelarut yang dipakai
Kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada penetrasi obat topikal mata yaitu, epitel yang terdiri dari 5 lapis sel, stroma, endotel yang terdiri dari selapis sel. Lapisan epitel dan endotel lebih mudah ditembus oleh obat yang mudah larut dalam lemak sedangkan stroma akan lebih mudah ditembus oleh obat yang larut dalam air. Maka secara ideal obat dengan daya tembus kornea yang baik harus dapat larut dalam lemak maupun air (biphasic). Obat-obat kortikosteroid topikal dalam larutan alkohol dan asetat bersifat biphasic.
d. Bentuk larutan
Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan suspensi. Keuntungan bentuk suspensi adalah penetrasi intra okular lebih baik daripada bentuk solutio karena bersifat biphasic, tapi kerugiannya bentuk suspensi ini memerlukan pengocokan terlebih dahulu sebelum dipakai.
Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan komplikasiseperti: Glaukoma, katarak, penebalan kornea, aktivasi infeksi, midriasis pupil, pseudoptosis dan lain-lain.
        • Injeksi peri-okular
Dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo maupun bentuk short acting berupa solutio. Keuntungan injeksi peri-okular adalah dicapainya efek anti peradangan secara maksimal di mata dengan efek samping sistemik yang minimal.
Indikasi injeksi peri-okular adalah :
1. Apabila pasien tidak responsif terhadap pengobatan tetes mata, maka injeksi peri-okular dapat dianjurkan.
2. Uveitis unilateral.
3. Pre operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi mata.
4. Anak-anak.
5. Komplikasi edema sistoid makula pada pars planitis.
Penyuntikan steroid peri-okular merupakan kontra indikasi pada uveitis infeksi (toxoplasmosis) dan skleritis.
Lokasi injeksi peri-okular :
a) Sub-konjungtiva dan sub-tenon anterior
Pemakaian sub-konjungtiva/sub-tenon steroid repository (triamcinolone acetonide 40 mg, atau. methyl prednisolone acetate 20 mg) efektif pada peradangan kronis segmen anterior bola mata. Keuntungan injeksi sub-konjungtiva dan sub-tenon adalah dapat mencapai dosis efektif dalam 1 kali pemberian pada jaringan intraokular selama 2–4 minggu sehingga tidak membutuhkan pemberian obat yang berkali-kali seperti pemberian topikal tetes mata. Untuk kasus uveitis anterior berat dapat dipakai dexametason 2–4 mg.
b) Injeksi sub-tenon posterior dan retro-bulbar
Cara ini dipergunakan pada peradangan segmen posterior (sklera, koroid, retina dan saraf optik).
Komplikasi injeksi peri-okular :
1) Perforasi bola mata.
2) Injeksi yang berulang menyebabkan proptosis, fibrosis otot ektra okular dan katarak sub-kapsular posterior.
3) Glaukoma yang persisten terhadap pengobatan, terutama dalam bentuk Depo di mana dibutuhkan tindakan bedah untuk mengangkat steroid tersebut dari bola mata.
4) Astrofi lemak sub-dermal pada teknik injeksi via palpebra.
      • Sistemik
Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat peradangan dan perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai preparat prednison dengan dosis awal antara 1–2 mg/kg BB/hari, yang selanjutnya diturunkan perlahan selang sehari (alternating single dose). Dosis prednison diturunkan sebesar 20% dosis awal selama 2 minggu pengobatan, sedangkan preparat prednison dan dexametaxon dosis diturunkan tiap 1 mg dari dosis awal selama 2 minggu. Pada uveitis kronis dan anak-anak bisa terjadi komplikasi serius seperti supresi kelenjar adrenal dan gangguan pertumbuhan badan, maka diberikan dengan cara alternating single dose.
Indikasi kortikosteroid sistemik :
1. Uveitis posterior
2. Uveitis bilateral
3. Edema makula
4. Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter)
5. Kelainan sistemik yang memerlukan terapi steroid sistemik
Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan terjadi efek samping yang tidak diingini seperti Sindrom Cushing, hipertensi, Diabetes mellitus, osteoporosis, tukak lambung, infeksi, hambatan pertumbuhan anak, hirsutisme, dan lain-lain.
  • Imunosupresan
      • Sitostatika
Pengobatan sitostatika digunakan pada uveitis kronis yang refrakter terhadap steroid. Di RSCM telah dipakai preparat klorambusil 0,1–0,2 mg/kg BB/hari, dosis klorambusil ini dipertahankan selama 2–3 bulan lalu diturunkan sampai 5–8 mg selama 3 bulan dan dosis maintenance kurang dari 5 mg/hari, sampai 6–12 bulan. Selain itu juga dipakai preparat Kolkhisindosis 0,5 mg–1 mg/peroral/2 kali/hari. Dosis letak adalah 7 mg/hari. Selama terapi sitostatika kita hams bekerja sama dengan Internist atau Hematologist. Sebagai patokan kita hams mengontrol darah tepi, yaitu lekosit harus lebih dari 3000/mm3 dan trombosit lebih dari 100.000/mm3 selama dalam pengobatan.
Preparat sitostatika ini menekan respons imun lebih spesifik dibandingkan kortikosteroid, tetapi pengobatan sitostatika ini mempunyai risiko terjadinya diskrasia darah, alopesia, gangguan gastrointestinal, sistitis hemoragik, azoospermia, infeksi oportunistik, keganasan dan kerusakan kromosom.
Indikasi sitostatika:
1. Pengobatan steroid inefektif atau intolerable
2. Penyakit Behcet
3. Oftalmia simpatika
4. Uveitis pada JRA (Juvenile rheumatoid arthritis)
Kontra indikasi sitostatika :
1. Uveitis dengan etiologi infeksi
2. Bila tidak ada :
– Internist/hematologist
Fasilitas monitoring sumsum tulang
– Fasilitas penanganan efek samping akut
      • Siklosporin A
Siklosporin A (CsA) adalah salah satu obat imunosupresan yang relatif baik yang tidak menimbulkan efek samping terlalu berat dan bekerja lebih selektif terhadap sel limfosit T tanpa menekan seluruh imunitas tubuh; pada pemakaian kortikosteroid dan sitostatik akan terjadi penekanan dari sebagian besar sistem imunitas, seperti menghambat fungsi sel makrofag, sel monosit dan sel neutrofil. Selain itu CsA tidak menyebabkan depresi sumsum tulang dan tidak mengakibatkan efek mutagenik seperti obat sitostatika.
Mekanisme kerja siklosporin A dalam respons imun adalah spesifik dengan:
  • Menekan secara langsung sel T helper subsets dan menekan secara umum produksi limfokin-limfokin (IL-2, interferon, MAF, MIF). Secara umum CsA tidal( menghambat fungsi sel B.
  • Produksi sel B sitotoksik dihambat oleh CsA dengan blocking sintensis IL-2.
  • Secara tidak langsung mengganggu aktivitas sel NK (natural killer cell) dengan menekan produksi interferon, di mana interferon dalam mempercepat proses pematangan dan sitolitik sel NK.
  • Populasi makrofag dan monosit tidak dipengaruhi oleh CsA sehingga tidak mempengaruhi efek fagositosis, processing antigen dan elaborasi IL-1.

    1. Terapi Spesifik
  • Toxoplasmosis
Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi kombinasi.

  • Sulfadiazin atau trisulfa :
Dosis 4 kali 0.5–1 gr/hari selama 3–6 minggu.
  • Pirimetamin :
Dosis awal 75–100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali 25 mg/hari selama 3–6 minggu.
  • Trimethoprim-sulfamethoxazol (Bactrim®) :
Dosis 2 kali 2 tablet Bactrim® selama 4–6 minggu. Preparat sulfa mencegah konversi asam paraaminobenzoat menjadi asam folaL Preparat pirimetamin bekerja menghambat terbentuknya tetrahidrofolat. Asam folat dibutuhkan oleh organisme toxoplasma untuk metabolisme karbon. Pada pemakaian pirimetamin dapat terjadi depresi sumsum tulang, maka kontrol darah tepi tiap minggu, apabila trombosit diindikasi penghentian terapi. Untuk mencegah depresi sumsum tulang diberikan preparat tablet asam folinat 5 mg tiap 2 hari.
  • Klindamisin :
Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik dengan preparat sulfa. Secara invivo pada experimen obat ini dapat menghancurkan kista toxoplasma pada jaringan retina.
Dosis: 3 kali 150–300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva klindamisin 50 mg dilaporkan memberi hasil baik.
  • Spiramisin :
Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek samping yang minimal. Obat ini kurang efektif dalam mencegah rekurensi.
  • Minosiklin :
Dosis 1–2 kapsul sehari selama 4–6 minggu.
  • Fotokoagulasi dengan laser apabila tidak ada respon terapi medikamentosa.
  • Infeksi virus
  • Herpes simplex :
Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal antivirus seperti asiklovir dan sikloplegik. Apabila epitel kornea intact/sembuh maka dapat diberikan topikal steroid bersama antivirus. Diberikan juga asiklovir 5 kali 200 mg/hari selama 2–3 minggu yang kemudian diturunkan 2 atau 3 tablet/hari.
Pada kasus retinitis Herpes simplex dan ARN (Acute retinal necrosis) diberikan asiklovir intravena dengan dosis awal 5 mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3 kali per hari.
  • Herpes zoster :
Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut selama 10–14 hari. Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang tua untuk mencegah terjadi post herpetic neuralgia. Pada uveitis anterior diberikan steroid dan sikloplegik topikal.
  • Sitomegalovirus :
DHPG (Gancyclovir) 5 mg/kgBB/dalam 2 kali pemberian intravena Foscarnet: 20 mg/kgBB/perinfus.
Menurut Wiyana (1993), selama pemberian obat harus diperhatikan beberapa hal diantaranya:
  • Berat badan. Bila berat badan naik dengan cepat berarti ada penumpukan air, karena adanya Na retensi, makanya pada pemberian kortekosteroid yang lama harus disertai pemberian KCl.
  • Tensi darah harus diperiksa setiap hari
  • Pemeriksaan kadar K, Na dalam darah
  • Pemeriksaan kadar gula dalam darah, harus dilakukan satu kali dalam setiap minggu
  • Adanya mimpi buruk, merupakan tanda adanya psikose.
Berhasil tidaknya pengobatan tergantung oleh daya tahan tubuh serta adanya virulensi dari faktor penyebab iridosiklitis. Oleh karenanya pemberian kortikosteroid tidak akan berhasil apabila tidak disertai pengobatan penyebabnya. Keadaan umum diperbaiki untuk memperbaiki daya tahan tubuh. Istirahat di tempat tidur, terlindung dari cahaya, tidak boleh membaca, dilarang minum alkohol (dapat menyebabkan hiperemi), memakan makanan yang mudah dicerna, dan memakai kaca mata hitam. Selain itu jangan lupa memeriksa bagian-bagian tubuh yang lain seperti: gigi, telinga, hidung, tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus digestivus, kulit, dan bagian lain. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui penyebab dan juga mengobati penyebab tersebut (Wijana, 1993).

  1. KOMPLIKASI
Ada empat komplikasi utama uveitis anterior antara lain: katarak, glaukoma, band keratopathy, dan cystoid macular edema (CME) (AOA,2004).
Katarak subcapular posterior merupakan salah satu komplikasi dari pengobatan uveitis anterior berupa penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang (AOA, 2004).
Glaukoma sekunder yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme, antara lain: (AOA, 2004)
  • Gangguan sirkulasi humor aqueous karena tersumbat oleh sel radang
  • Sinekia posterior memungkinkan humor aqueous terkumpul di belakang iris.
  • Sinekia anterior peripheral prograsif menutup sudut bilik mata
  • Cortikosteroid topikal yang digunakan pada terapi dapat meningkatkan tekanan intra okular
  • Rubeosis iridis menyebabkan neovaskular glaukoma
Band keratopathi terjadi pada uveitis yang lama. Terjadi karena penumpukan calsium pada kornea anterior (AOA, 2004).
Edema kistoid makuler dapat terjadi pada uveitis anterior yang lama. CME mungkin disebabkan karena penurunan kadar prostaglandin (AOA, 2004).

  1. PROGNOSIS
Dengan pengobatan, serangan uveitis non-granulomatosa umumnya berlangsung beberapa hari sampai minggu dan sering kambuh. Uveitis granulomatosa berlangsung berbulan-bulan sampai tahunan, kadang-kadang dengan remisi dan eksaserbasi, dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dengan penurunan penglihatan yang nyata. Prognosis bagi lesi korioretinal perifer lokal jauh lebih baik, sering sembuh tanpa gangguan penglihatan yang berarti (Vaughan, 2000)


BAB III
KESIMPULAN

  1. Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan korpus siliare (pars plikata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea dan sklera.
  2. Berdasarkan spesifitas penyebabnya uveitis anterior dapat dibagi atas uveitis infeksius, uveitis non infeksius, dan uveitis tanpa penyebab yang jelas.
  3. Berdasarkan asal nya uveitis anterior dibedakan menjadi, uveitis eksogen dan uveitis endogen.
  4. Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakitnya) uveitis anterior dibedakan menjadi uveitis anterior akut dan uveitis anterior kronis.
  5. Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan patologi anatominya terdiri dari tipe granulomatosa dan non granulomatosa.
  6. Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa golongan antara lain: autoimun, infeksi, keganasan, dan lain-lain.
  7. Terjadinya uveitis anterior juga berhubungan dengan beberapa penyakit sistemik, antara lain: Spondyloarthritides, Crohn's disease, Sarcoidosis, Behcet's disease Hypersensitivity reactions, Tubulointerstitial nephritis ,Juvenile rheumatoid arthritis, Kawasaki disease, multiple sclerosis, and relapsing polychondritis, Multiple sclerosis,Relapsing polychondritis, Sjögren's syndrome, Systemic lupus erythematosus, Systemic vasculitis, Granulomatous angiitis of the central nervous, Vogt-Koyanagi-Harada syndrome, AIDS, Blau syndrome.
  8. Gejala-gejala uveitis anterior meliputi: mata merah, fotofobia, lakrimasi, rasa sakit, clan penglihatan kabur. Mata yang terkena biasanya satu pihak, disertai dengan adanya flare dan sel di dalam bilik mata depan; jarang dijumpai adanya hipopion. Variasi gejala sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan faktor penyebab.
  9. Diagnosis banding uvetis anterior antara lain: konjungtivitis, keratitis atau keratokunjungtivitis, glaukoma akut.
  10. Tujuan terapi uveitis anterior antara lain: mengembalikan tajam penglihatan, mengurangi rasa nyeri di mata, mengeliminasi peadangan atau penyebab pradangan, mencegah terjadinya sinekia iris,m engendalikan tekanan intraokular.
  11. Prinsip pengobatan uveitis antara lain: menekan peradangan, mengeliminir agen penyebab, menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata dan organ tubuh di luar mata.
  12. Terapi uveitis anterior terdiri dari terapi non spesifik dan terapi spesifik. Terapi non spesifik menggunakan obat-obat midriatik-sikloplegik, kortikosteroid dan imunosupresan. Sedangkan terapi spesifik didasarkan pada penyebabnya.
  13. Ada empat komplikasi utama uveitis anterior antara lain: katarak, glaukoma, band keratopathy, dan cystoid macular edema.


DAFTAR PUSTAKA

American Optometric Association, 2004, Anterior Uveitis, dalam Optometric Clinical Practice Guideline, American Optometric Association, St. Louis
Ardy, H., 1993, Diagnosis Etiologik Uveitis Anterior, dalam Cermin Dunia Kedokteran no 87. sept 1993, Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta: 47-54
Ghozie, M., 2002, Kornea, Uvea, dan Lensa, dalam Hand Book of Ophtalmology, Yogyakarta
Hodge, W. G., 2000, Traktus Uvealis & Sklera, dalam Vaughan, D. G., Asbury, T. dan Riodan, P., Oftalmologi Umum, Widya Medika, Jakarta : 155-174
Riodan, P., 2000, Anatomi & Embriologi Mata, dalam Vaughan, D. G., Asbury, T. dan Riodan, P., Oftalmologi Umum, Widya Medika, Jakarta : 1-29
Rosenbaum, J,T, 2007, Up to Date: Canada, http://www.uptodate.com
Sjamsoe, S., 1993, Penatalaksanaan Uveitis, dalam Cermin Dunia Kedokteran no 87. sept 1993, Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta: 55-58
Suhardjo dan Gunawan, S., 1993. Gambaran Klinis Uveitis Anterior Akuta pada HLA-B27 positif, FK UGM, Yogyakarta
Wijana, N., 1993, Uvea, dalam Ilmu Penyakit Mata, Abadi Tegal, Jakarta: 126-153

Komentar

  1. Sejatinya, ejakulasi dini sanggup disebabkan oleh sekian banyak perihal psikologis, yg di antaranya yaitu :

    1. lakukan masturbasi terlampaui sering

    Seperti yg telah anda ketahui, masturbasi rata rata dilakukan guna menggerapai kepuasan seks tidak dengan mesti bersambung intim. elemen ini biasa saja semesta dilakukan oleh siapapun. Namun, saat dilakukan secara berlebihan, masturbasi tambahan pula bisa menimbulkan efek stres kelelahan, dan kendala daya mengerti mengapa lantaran ketika lakukan masturbasi, tubuh kamu yang tak harus mencocokkan waktu ejakulasi dengan pasangan dapat membuat pola unik dekat menggerapai klimaksnya. Ketiadaan musuh pada bersambung intim inilah yg menghasilkan badan menjadi tak ternama dalam mengontrol terjadinya ejakulasi. akhirnya kamu dapat lebih sering mengikuti struktur ejakulasi di waktu masturbasi, apalagi ketika berhubungan intim dengan pasangan kamu maka terjadilah ejakulasi dini.

    2. mempunyai khayalan yang berlebihan

    Terkadang, melamun moleknya tubuh perempuan lain ketika bersanggama bersama pasangan yaitu salah satu rahasia guna mendapati kepuasan lebih. Namun, saat anda terlalu sering melakukannya, factor ini bakal mempengaruhi pencapaian ejakulasi kamu Percayalah, mimpi seksual yg berlebihan ini mampu mengakibatkan alterasi ritme hubungan intim antara anda dan pasangan, maka menyulut terjadinya ejakulasi dini.

    Apabila pertanyaan masih belum sanggup terpecahkan serta-merta menghubungi dokter spesialis andrologi Klinik apollo pada wawancara lebih lanjut di Hotline No. (021)-62303060.

    Dimana Berobat Bila Kulup panjang | Apakah Bahaya Kulup terlalu panjang ?

    Tips apabila mengalami Ejakulasi dini | Klinik tempat sunat murah

    Konsultasi spesialis kelamin | Free Chat

    BalasHapus

Posting Komentar