SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS
terjemahan dari Harrison's PRINCIPLES OF INTERNAL MEDICINE Seventeenth Edition
terjemahan dari Harrison's PRINCIPLES OF INTERNAL MEDICINE Seventeenth Edition
Definisi dan Prevalensi
Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun dimana organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-binding autoantibody dan kompleks imun. Sembilan puluh persen pasien adalah wanita umur subur; walaupun semua jenis kalmin, umur, dan kelompok ras dapat terkena, prevalensi SLE di Amerika Seikat adalah 15-50 dari 100.000 penduduk, prevalensi tertinggi diantara kelompok etnis pada penilitian ini adalah kelompok Afrika Amerika (Negro).
Etiologi dan Patogenesis
Mekanisme pathogenic dari SLE diilustrasikan pada gambar 1. Interaksi antara faktor gen predisposisi dan lingkungan akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon ini termasuk (1) aktivasi dari imunitas innate (sel dendrit) oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun, dan RNA dalam RNA/protein self-antigen ; (2) Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit antigen-specific T dan Limfosit B); (3) Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+ dan (4) berkurangnyatic klirens sel apoptotic dan kompleks imun. Self-antigen (protein/DNA nukleosomal; RNA/protein pada Sm, Ro, dan La; fosfolipid) dapat ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan sel apoptotic; sehingga antige, autoantibody, dan kompleks imun tersebut dapat bertahan untuk beberapa jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan penyakit berkembang. Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL) 10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibody yang terus menerus dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang berikatan dengan Ig. Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu pelepasan keomtaxin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada peradangan yang kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya.
Gambar 1. Patogenesis SLE. Interaksi gen-lingkungan menghasilkan respon imun abnormal yang menghasilkan autoantibody pathogen dan deposisi kompleks imun pada jaringan, komplemen aktif, menyebabkan inflamasi dan lama kelamaan mengakibatkan kerusakan organ irreversible.Ag, antigen; C1q, complement system; C3, complement component; CNS, central nervous system; DC, dendritic cell; EBV, Epstein-Barr virus; HLA, human leukocyte antigen; FcR, immunoglobulin Fc-binding receptor; IL, interleukin; MBL, mannose-binding ligand; MCP, monocyte chemotactic protein; PTPN, phosphotyrosine phosphatase; UV, ultraviolet
SLE merupakan penyakit yang melibatkan banyak gen. Pada individu yang memiliki predisposisi genetik, allel normal dari beberapa gen normal masing-masing berkontribusi terhadap respon imun abnormal yang kecil; jika beberapa variasi jumlah berakumulasi , penyakit akan terjadi. Defisiensi homozigot pada komponen awal dari komplemen (C1q,r,s; C2; C4) mengakibatkan predisposisi yang kuat terhadap kejadian SLE, namun defisiensi ini jarang terjadi. Tiap gen meningkatkan resiko SLE sebanyak 1,5 hingga 3 kali lipat. Beberaa allel gen kemungkinan berperan dalam mempengaruhi klirens sel apoptotic (C1q,MBL) atau kompleks imun (FcR 2A dan 3A), kemunculan antigen (HLA-DR2,3,8), Maturasi sel B (IL-10), aktivasi sel T (PTPN22) atau kemotaksis (MCP-1). Tidak satupun hipotesis ini telah terbukti. Sebagai penambahan terhadap predisposisi penyakit pada etnis tertentu, beberapa gen berpengaruh terhadap manifestasi klinis penyakit ini (misal, FcR2A/3A, MBL, PDCD1 untuk nephritis; MCP-1 untuk arthritis dan vasculitis). Suatu daerah pada kromosom 16 mengandung gen yang merupakan predisposisi SLE, rheumatoid arthritis, psoriasis, dan Penyakit Chron’s, Terdapat pula beberapa allel gen yang berfungsi sebagai proteksi. Semua kombinasi gen ini mempengaruhi respon imun terhadap lingkungan eksternal dan internal; jika respon tersebut terlalu tinggi atau berkepanjangan, penyakit autoimun akan terjadi.
Jenis kelamin wanita sering terkena SLE; betina dari semua spesies mamalia memang memiliki respon antibody yang lebih kuat daripada pejantan. Wanita yang terpapar kontraseptif oral yang mengandung estrogen atau terapi sulih hormone memiliki peningkatan resiko SLE (1,2 hingga 2 kali lipat). Estradiol berikatan dengan reseptor pada limfosit T dan B, kemudian akan meningkatkan aktivasi dan daya tahan dari sel ini, sehingga menunjang respon imun yang memanjang.
Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi kemunculan SLE (Gambar 1). Paparan terhadap cahaya ultraviolet akan menyebabkan serangan SLE pada sekitar 70% pasien, kemungkinan dengan peningkatan apoptosis pada sel kulit atau dengan mengubah DNA dan protein intraseluler dan membuatnya menjadi antigenic. Sepertinya beberapa infeksi memicu respon imun yang normal dan mengandung beberapa sel T dan B yang mengenal self-antigen; pada SLE, sel-sel tersebut tidak beregulasi dengan baik dan produksi autobodi kemudian terjadi. Kebanyakan pasien SLE mempunyai autoantibody hingga 3 tahun bahkan lebih sebelum gejala pertama penyakit ini, menandakan bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimun untuk beberapa tahun sebelum kualitas dan kuantitas dari autoantibody dan sel B dan T yang pathogen cukup untuk menyebabkan gejala klinis. Virus Eipsten Barr mungkin merupakan agen infeksi yang dapat memicu SLE pada seseorang yang memiliki predisposisi genetic. Anak dan orang dewasa dengan SLE cenderung terinfeksi EBV dibandingkan kelompok kendali umur, jenis kelamin, dan etnis. EBV mengaktivasi dan menginfeksi limfosit B dan bertahan pada sel tersebut dalam beberapa decade; Ia juga mengandung sekuens asam amino yang mirip dengan sekuens pada spilceosome manusia (RNA/antigen protein yang dikenali oleh autoantibody pada seseorang dengan SLE). Sehingga, interaksi antara predisposisi genetic, lingkungan, jenis kelamin, dan respon imun abnormal akan mengakibatkan autoimunitas.
Patologi
Pada SLE, biopsy dari kulit yang terkena memperlihatkan deposisi Ig pada lapisan antara dermal dan epidermal (dermal-epidermal junction/DEJ), jejas pada keratinosit basal, dan peradangan yang didominasi oleh limfosit T pada DEJ dan sekitar pembuluh darah serta pada sebagian kecil dari lapisan dermal. Kulit yang tidak terkena secara klinis juga dapat memperlihatkan deposisi Ig pada DEJ.
Pada biopsy ginjal, pola dan keparahan jejas sangat penting dalam diagnosis dan memilih penatalaksanaan yang tepat. Penelitian klinis lupus nephritis yang banyak dipublikasi kebanyakan menggunakan klasifikasi World Health Organization (WHO). Tetapi, the International Society of Nephrology (ISN) dan Renal Pathology Society (RPS) telah mempublikasikan klasifikasi yang terbaru dan menyerupai klasifikasi WHO (Tabel 1) yang kemungkinan akan mengganti standar WHO. Kelebihan dari klasifikasi ISN/RPS adalah penambahan “a” untuk perubahan aktif dan “c” untuk kronis, sehingga memberikan informasi kepada seorang dokter mengenai prognosis dari penyakit ini (dapat reversible atau irreversible). Semua klasifikasi berfokus pada penyakit glomerular, walaupun keberadaan penyakit tubular interstitial dan vaskuler juga penting dalam manifestasi klinis. Pada umumnya, penyakit kelompok III dan IV, begitupula dengan penyakit kelompok V yang disertai dengan kelompok III atau IV, sebaiknya ditangani dengan imunosupresi yang agresif jira memungkinkan, karena terdapat resiko tinggi gagal ginjal tahap akhir (end-stage renal disease/ESRD) jira pasien tidak ditangani atau terlambat ditangani. Penanganan lupus nephritis tidak dianjurkan pada pasien dengan penyakit kelopok I dan II atau dengan perubahan irreversible yang luas. Pada anak, diagnosis SLE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran histologis renal walaupun tanpa kriteria diagnosis lainnya.
Class I: Minimal Mesangial Lupus Nephritis |
Glomerulus normal dengan mikroskop biasa, namun deposit imun mesangial nampak dengan immunofluorescence |
Class II:Mesangial Proliferative Lupus Nephritis |
Hiperselularitas mesangial murni dengan derajat apapun atau perluasan matrix mesangial dengan mikroskop biasa disertai dengan deposit imun. Beberapa deposit subepitel dan subendotel samara dapat terlihat dengan immunofluoroscence atau mikroskop electron namun tidak tampak dengan mikroskop biasa. |
Class III: Focal Lupus Nephritis |
Glomerulonephritis fokal aktif atau inaktif, segmental atau global endokapilar atau ekstrakapiler terjadi pada <50%> |
Class III (A): Lesi aktif - focal proliferative lupus nephritis |
Class III (A/C): Lesi aktif dan kronis - focal proliferative dan sclerosing lupus nephritis |
Class III (C): Lesi inaktif kronis disertai dengan jaringan parut glomerular—focal sclerosing lupus nephritis |
Class IV: Diffuse Lupus Nephritis |
Glomerulonephritis difus aktif atau inaktif, segmental atau global endo atau ekstrakapiler yang melibatkan 50% dari seluruh glomerulus, biasanya dengan depsit imun yang difus, diserta atau tanpa perubahan mesangial. Kelas ini dibagi atas lupus nephritis segmental difus (IV-S) jika 50% dari glomerulus yang terkena memiliki lesi yang segmental dan lupus nephritis difus global (IV-G) jika 50% dari glomerulus yang terlibat memiliki lesi yang global. Segmental diartikan sebagai lesi glomerulus yang melibatkan tidak lebih dari setengah dari unit glomerulus. Kelas ini termasuk kasus dengan deposisi pada loop yang difus namun dengan sedikit atau tanpa proliferasi glomerulus. |
Class IV-S (A): Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse segmental proliferative |
Class IV-G (A): Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse global proliferative |
Class IV-S (A/C): Lesi aktif dan kronik— lupus nephritis diffuse segmental proliferative dan lupus nephritis sclerosing |
Class IV-G (A/C): Lesi aktif dan kronik —lupus nephritis diffuse global proliferative dan lupus nephritis sclerosing |
Class IV-S (C): Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse segmental sclerosing |
Class IV-G (C): Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse global sclerosing |
Class V: Membranous Lupus Nephritis |
Deposit imun subepitel global atau segmental atau dengan sekuele morfologis dilihat dari pemeriksaan mikroskop dan dengan immunofluoroscence atau mikroskop electron, disertai atau tanpa perubahan mesangial. Lupus nephritis kelas V dapat terjadi dengan kombinasi kelas III dan IV, dimana pada kasus ini keduanya dapat didiagnosis. Lupus nephritis kelas V dapat memperlihatkan sclerosis yang sudah berat. |
Class VI:Advanced Sclerotic Lupus Nephritis |
Diagnosis
Kriteria diagnosis Systemic Lupus Erythematous adalah beberapa gejala pada table 2 dibawah ini :
No | Gejala | Pengertian |
1 | Malar Rash (Butterfly rash) | Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah malar) |
2 | Discoid rash | Bercak eritematous berelevasi sirkuler disertai dengan sisik keratotik adherent. Jaringan parut atropi dapat terjadi |
3 | Fotosensitivitas | Paparan terhadap sinar UV yang dapat menimbulkan bercak-bercak |
4 | Ulkus oral | Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat ditemukan |
5 | Arthritis | arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi |
6 | Serositis | Pleurits atau pericarditis yang ditemukan melalui ECG atau bukti adanya efusi pleura |
7 | Gangguan Ginjal | Proteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atas serpihan seluler |
8 | Gangguan neurologik | Psikosis atau kejang tanpa penyebab yang jelas |
9 | Gangguan hematologik | Anemia atau leucopenia hemolytic (<4000/l)> |
10 | Gangguan Imunologis | Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-phospholipid |
11 | Antibodi Antinuklear | Jumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa jika diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat memicu ANA sebelumnya. |
Tabel 2.Kriteri klinis untuk diagnosis SLE
Diagnosis SLE berdasarkan ciri khas gejala klinisnya dan adanya autoantibody. Kriteria terkini untuk klasifikasi telah dijelaskan diatas dan sebuah algoritme klasifikasi terdaftar pada gambar 2. Kriteria ini bertujuan untuk mengkonfirmasi diagnosis SLE pada pasien yang termasuk dalam suatu penelitian; penyusun penilitian menggunakan kriteria ini pada beberapa individu untuk menilai kecenderungan terjadinya SLE. Kombinasi 4 dari 11 kriteria, yang terdokumentasi pada saat apapun dalam riwayat medis pasien, membuat pasien cenderung memiliki SLE (spesifitas dan sensitivitas secara berurutan 95% dan 75%). Pada beberapa pasien, gejala semakin b dalam selang waktu tertentu. Antinuclear antibodies (ANA) ditemukan pada >98% pasien selama perjalanan penyakit; pemeriksaan ANA berulang yang negative menandakan diagnosisnya bukan SLE, kecuali jika autoantibody lainnya ditemukan (Gambar 2). Antibodi IgG dengan jumlah banyak pada DNA dan antibody pada antigen Sm spesifik untuk SLE dan mendukung diagnosis terutama dengan keberadaan gejala klinis. Keberadaan beberapa autoantibody pada seseorang tanpa gejala klinis sebaiknya tidak didiagnosis SLE, walaupun pada orang tersebut terjadi peningkatan resiko karena SLE secara klinis terjadi pada pasien setelah beberapa tahun ditemukannya autoantibody.
Gambar 2. Algoritme diagnosis dan penatalaksanaan SLE (klik gambar untuk memperbesar)
Interpretasi dari Manifestasi klinis
Jika diagnosis SLE ditegakkan, penting untuk mengetahui tingkat keparahan dan kemungkinan reversible pada penyakit ini dan untuk memperkirakan konsekuensi dari beberapa intervensi terapeutik. Pada paragraf berikutnya, deskripsi dari beberapa manifestasi penyakit bermulai dengan permasalahan yang relatif ringan dan berkembang menjadi yang lebih mengancam nyawa.
Pada onsetnya, SLE dapat melibatkan satu atau beberapa sistem organ; dalam selang waktu tertentu, gejala tambahan dapat terjadi. Beberapa autoantibodi spesifik dapat ditemukan pada saat munculnya gejala klinis. Tingkat keparajan SLE beragam mulai dari ringan dan intermediate sampai parah dan fulminan. Beberapa pasien mengalami eksaserbasi diantarai oleh masa yang relatif tenang; remisi permanen sempurna (Hilangnya gejala tanpa pengobatan) jarang terjadi.Gejala sistemik, utamanya malaise dan myalgia/arthralgia, didapatkan kebanyakan. Penyakit sistemik yang berat memerlukan terapi glukokortikoid dapat terjadi dengan demam, letih, berat badan berkurang, dan anemia disertai atau tanpa manifestasi organ target lainnya.
Manifestasi Muskuloskeletal
Kebanyakan pasien SLE memiliki polyarthritis intermitten, berderajat mulai ringan hingga kecacatan, ditandai dengan pembengkakan jaringan lunak dan nyeri pada sendi, paling sering pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas sendi (tangan dan kaki) terjadi hanya pada 10% pasien. Erosi pada gambaran x-ray sendi jarang ditemukan; keberadaannya menandakan peradangan arthropathy non lupus seperti rheumatoid arthritis; beberapa ahli memperkirakan bahwa erosi dapat juga terjadi pada SLE. Jika nyeri bertahan pada satu sendi, seperti lutut, bahu, atau pinggang, diagnosis nekrosis iskemik tulang perlu dipertimbangkan, utamanya jika tidak ada manifestasi SLE aktif lainnya. Prevalensi nekrosis iskemik tulang meningkat pada SLE, terutama pada pasien yang ditangani dengan glukokortikoid sistemik. Myositis dengan kelemahan otot klinis, peningkatan kadar creatinin kinase, MRI Scan positif, dan nekrosis otot dan peradangan pada biopsy dapat terjadi, walaupun kebanyakan pasien mengalami myalgia tanpa myositis yang jelas. Terapi glucocoticoid dan antimalaria dapat juga menyebabkan kelemahan otot; efek samping ini mesti dibedakan dari penyakit aktif
Manifestasi Penyakit Kulit
Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai discoid lupus erythematosus (DLE), bercak sistemik, subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), atau “lainnya”. Lesi discoid merupakan lesi kasar sirkuler disertai dengan sedikit peninggian, lingkaran eritematosa hiperpigmentasi bersisik, dan pusat depigmentasi dengan atropi dimana semua bagian demal secara permanent rusak. Lesi dapat memburukkan rupa, terutama pada wajah dan kulit kepala. Pengobatan utamanya merupakan kortikosteroid topikal atau injeksi lokal dan antimalaria sistemik. Hanya 5% individu dengan DLE memiliki SLE (walaupun setengahnya memiliki ANA yang positif); namun, diantara individu dengan SLE, sebanyak 20% memiliki DLE. Kebanyakan bercak SLE yang umum bersifat fotosensitive, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah (utamanya pada pipi dan sekitar hidung –the ”buterfly rash”), telinga, dagu, daerah V pada leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Memberatnya bercak ini kadang disertai dengan serangan penyakit sistemik. SCLE mengandung bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis atau lesi sirkuler datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat fotosensitif; kebanyakan memiliki antibody terhadap Ro (SS-A). Bercak SLE lainnya termasuk urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bullar, dan pannikulitis (“lupus profundus”). Bercak dapat ringan atau berat;p mereka dapat menjadi manifestasi utama penyakit ini. Ulkus kecil dan nyeri pada mukosa oral dan nasal umum pada SLE; lesinya mirip dengan ulkus pada sariawan.
Manifestasi Renal
Nephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena nephritis dan infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada decade pertama penyakit ini. Karena nephritis asimptomatik pada kebanyakan pada pasien SLE, urinalysis sebaiknya dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami SLE. Klasifikasi dari lupus nephritis berdasar dari gambaran histologis (lihat “Patologi” diatas, dan table 1). Biopsi renal berguna untuk merencanakan terapi terkini atau dimasa akan datang. Pasien dengan bentuk kerusakan glomerulus proliferatif berbahaya (ISN III dan IV) biasanya memiliki hematuria dan proteinuria mikroskopik (>500 mg per 24 jam); sekitar setengah pasien mengalami sindrom nephrotik, dan kebanyakan terjadi hipertensi. Jika glomerulonephritis proliferatif difus (DPGN) tidak ditangani, kebanyakan pasien akan mengalami ESRD dalam 2 tahun diagnosis. Sehingga, imunosupresi agresif diindikasikan (kebanyakan kortikosteroid sistemik disertai dengan obat sitotoxic), kecuali kerusakan irrversibel. Etnis African American lebih cenderung mengidap ESRD dibandingkan dengan ras Kaukasia, bahkan dengan kebanyakan terapi terkini. Di Amerika Serikat, sekitar 20% individu dengan lupus DPGN meninggal atau mengalami ESRD setelah 10 tahun diagnosis ditegakkan. Individu tersebut membutuhkan pengendalian SLE yang agresif dan dari komplikasi penyakit ginjal. Segelintir pasien SLE dengan proteinuria (biasanya nephrotik) memiliki perubahan glomerulus membranous tanpa proliferasi pada pemeriksaan biopsy ginjal. Prognosisnya lebih baik daripada mereka dengan DPGN, namun proteinuria cenderung merupakan keadaan yang berkelanjutan, disertai dengan serangan yang membutuhkan penanganan ulang selama beberapa tahun. Untuk kebanyakan orang dengan lupus nephritis, percepatan atherosclerosis menjadi penting setelah beberapa tahun , perhatian berlebih diberikan untuk mengendalikan tekanan darah, hyperlipidemia, dan hyperglycemia.
Manifestasi Sistem Saraf
Ada banyak manifestasi sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer pada SLE, pada beberapa pasien tertentu hal ini merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas. Penting untuk melakukan pendekatan diagnostic dengan menanyakan apakah gejalanya akibat SLE atau penyakit lain (seperti infeksi pada individu immunocompromised). Jika gejala berhubungan dengan SLE, sebaiknya ditentukan apakah mereka disebabkan oleh proses difus atau penyakit oklusif vaskuler. Manifestasi klinis SSP paling umum adalah disfungsi kognitif, termasuk kesulitan dalam mengingat dan memberikan alasan. Sakit kepala juga umum terjadi. Jika terjadi mendadak berat, maka ini menandakan serangan SLE; jika lebih ringan, sulit dibedakan dengan migraine atau sakit kepala tipe tegang. Kejang dari beberapa tipe dapat disebabkan oleh lupus, penanganan seringkali membutuhkan antiseizure dan immunosupresif. Psikosis dapat menjadi manifestasi dominant pada SLE; hal ini mesti dibedakan dengan psikosis akibat glukokortikoid. Yang terakhir biasanya terjadi pada minggu pertama pemberian glukokortikoid, pada dosis prednisone 40 mg harian atau sederajat. Psikosis sembuh beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid diturunkan atau dihentikan. Myelopathy tidak jarang dan seringkali menimbulkan kecacatan; terapi immunosupresif segera dimulai dengan glukokortikoid merupakan standar terapi.
Oklusi Vaskuler
Prevalensi dari transient ischemic attacks, stroke, dan infark myocard meningkat pada pasien SLE. Kejadian vaskuler ini meningkat, namun tidak ekslusif, pada pasien SLE dengan antibody terhadap fosfolipid (aPL). Sepertinya antibody antifosfolipid ini berkaitan dengan hiperkoagulabilitas dan kejadian thrombotik akut, dimana penyakit kronis berkaitan dengan percepatan atherosclerosis. Iskemia pada otak dapat disebabkan oleh oklusi fokal (baik noninflamasi atau berkaitan dengan vaskulitis) atau dengan embolisasi dari plaq arteri carotid atau dari vegerasi fibrinous dari Libman-Sack endocarditis. Pemeriksaan yang tepat untuk aPL (lihat dibawah) dan untuk sumber emboli sebaiknya dilakukan pada pasien seperti ini untuk memperkirakan kebutuhan, intensitas, durasi dari terapi antiinflamasi dan/atau antikoagulasi. Pada SLE, infark myokard merupakan manifestasi utama pada atherosclerosis. Peningkatan resiko kejadian vaskuler dapat mencapai 7 hingga sepuluh kali lipat secara keseluruhan, dan lebih tinggi pada wanita < style="" lang="IT">Peran dari terapi statin pada SLE masih dalam investigasi.
Manifestasi Pulmoner
Manifestasi pulmoner yang paling sering terjadi pada SLE adalah pleuritis dengan atau tanpa efusi pleural. Gejala ini, jika ringan, dapat berespon dengan pemberian terapi NSAID (nonsteroidal antiinflammatory drugs); jika lebih berat, pasien membutuhkan terapi glukokortikoid. Infiltrat pulmoner dapat juga terjadu sebagai manifestasi SLE aktif dan sulit dibedakan dari infeksi pada gambaran radiologi. Manifestasi pulmoner yang membahayakan nyawa termasuk peradangan interstitial yang menyebabkan fibrosis, sindrom paru menyusut, dan perdarahan intraalveolar; semua kemungkinan ini membutuhkan terapi immunosuppresif yang agresif secara dini begitupula dengan perawatan suportif.
Manifestasi Penyakit Jantung
Pericarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling umum terjadi; biasanya ini berespon dari terapi antiinflamasi dan jarang mengakibatkan tamponade jantung. Manifestasi kardiak yang lebih berat adalah myocarditis dan endocarditis Libman-Sacks fibrinous. Keterlibatan endocardial dapat menyebabkan insufisiensi valvular, kebanyakan katup mitral atau aorta, atau kejadian embolik. Belum terbukti bahwa terapi glukokortikoid atau imunosuppressif dapat menyebabkan perbaikan lupus myocarditis atau endocarditis, namun umum dilakukan pemberian dosis tinggi steroid bersamaan dengan terapi suportif yang tepat untuk gagal jantung, aritmia, atau kejadian embolik. Seperti yang didiskusikan diatas, pasien dengan SLE mengalami peningkatan resiko infark myocard, biasanya akibat percepatan terjadinya atherosclerosis, dimana kemungkinan diakibatkan oleh peradangan kronis dan/atau kerusakan oksidatif pada lipid dan pada organ.
Manifestasi hematologik yang paling sering pada SLE adalah anemia, biasanya normochromic normocytic, menandakan adanya penyakit kronis. Hemolysis dapat cepat dalam onsetnya dan berat, sehingga membutuhkan terapi glukokortikoid dosis tinggi, dimana efektif pada kebanyakan pasien. Leukopenia juga sering dan hampir selalu mengandung limphophenia, bukan granulositopenia; ini jarang memudahkan terjadinya infeksi dan biasanya tidak membutuhkan terapi. Thrombositopenia merupakan masalah yang berulang. Jika hitung platelet >40.000/L dan perdarahan abnormal tidak terjadi. Terapi glukokortikoid dosis tinggi (misal, 1 mg/kg per hari dengan prednisone atau yang seimbang) biasanya efektif untuk beberapa episode pertama thrombositopenia berat. Anemia hemolitik dan thrombositopenia rekuren atau berkepanjangan, atau penyakit yang membutuhkan dosis yang sangat tinggi dari glukokortikoid harian, sebaiknya ditangani dengan strategi tambahan.
Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari suatu serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebakan oleh peritonitis autoimun dan/atau peritonitis. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine aminotranferase (ALT) umum jika SLE sedang aktif. Manifestasi ini biasanya membaik secara perlahan selama pemberian terapi glukokortikoid sistemik. Vaskulitis yang melibatkan usus dapat mengancam nyawa; perforasi, iskemia, perdarahan, dan sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi. Terapi immunosuppressice dengan glukokortikoid dosis tinggi disarankan untuk pengendalian jangka pendek, terjadinya rekurensi merupakan indikasi dari terapi tambahan.
Sindrom Sicca (Sindrom Sjögren's) dan konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada SLE namun jarang membahayakan penglihatan. Berbeda dengan vaskulitis retinal dan neuritis optic yang merupakan manifestasi berat: kebutaan dapat terjadi dalam beberapa hari atau minggu. Immunosuppresi agresif dianjurkan, walaupun tidak ada penelitian untuk membuktikan efektivitasnya. Komplikasi dari terapi glukokortikoid termasuk katarak dan glaucoma.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan (1) penegakkan atau menyingkirkan suatu diagnosis; (2) untuk mengikuti perkembangan penyakit, terutama untuk menandai terjadinya suatu serangan atau sedang berkembang pada suatu organ; (3) untuk mengidentifikasi efek samping dari suatu pengobatan.
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Catatan: CNS, central nervous system; CSF, cerebrospinal fluid; DRVVT, dilute Russell viper venom time; ELISA, enzyme-linked immunosorbent assay. |
(Tabel 3) Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada beberapa pasien ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat berguna. Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya terkait dengan kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA). Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA) spesifik untuk SLE. Tidak ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas antara pemeriksaan yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi. ELISA dan reaksi immunofluorosensi rpada sera dengan dsDNA pada flagel Crithidia luciliae memiliki sekitar ~60% sensitivitas untuk SLE; identifikasi dari aviditas tinggi untuk anti-dsDNA pada emeriksaan Farr tidak sensitive namun terhubung lebih baik dengan nephritis
Pemeriksaan skrining dapat dengan pemeriksaan darah lengkap, hitung platelet, dan urinalysis dapat mendeteksi abnormalitas yang berperan terhadap diagnosis dan mempengaruhi keputusan penatalaksanaan
Sangat berguna untuk mengikuti hasil pemeriksaan yang mengindikasikan status dari keterlibatan organ yang diketahui keberadaannya saat serangan SLE berlangsung. Pemeriksaan mencakup kadar hemoglobin, platelet, urinalysis, dan kadar kreatinin atau albumin serum. Terdapat minat yang tinggi dari identifikasi marker tambahan lainnya untuk menilai aktivitas penyakit. Kandidat marker termasuk kadar antibody anti-DNA, beberapa komponen komplemen (C3 tersedia luas), produk komplemen teraktifasi (termasuk yang berikatan dengan reseptor C4d pada eritrosit), gen penginduksi IFN, IL-2, dan adiponektin urin atau monosit kemotaktik protein.1. Tidak ada yang disetujui sebagai indikator terpercaya pada serangan atau respon dari intervensi. Dokter sebaiknya menginformasikan kepada tiap pasien pemeriksaan laboratorium yang berubah dapat memprediksi serangan. Jika terjadi, perubahan terapi berespon dengan perubahan hasil laboratorium dapat mencegah suatu serangan. Sebagai tambahan, karena meningkatnya prevalensi atherosclerosis pada SLE, dianjurkan untuk mengikuti rekomendasi dari National Cholesterol Education Program untuk memeriksa dan menangani, termasuk menilai SLE sebagai faktor resiko independent, seperti diabetes mellitus
Penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus
Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang terjadi. Sehingam dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan akut yang berat dan kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala pada kadar yang dapat diterima dan mencegah kerusakan organ. Biasanya pasien akan mengalami beberapa efek samping pada medikasi. Pilihan terapi bergantung pada (1) apakah manifestasi penyakit membahayakan nyawa atau sepertinya menyebabkan kerusakan organ, segera rencanakan terapi agresif (2) apakah manifestasinya berpotensial reversible, dan (3) pendekatan terbaik untuk mencegah komplikasi penyakit dan penanganannya. Terapi, dosis, dan efek samping terdaftar pada table 4.
Pada pasien dengan letih, nyeri, dan adanya autoantibody untuk SLE, namun tidak disertai dengan keterlibatan pada organ utama, penatalaksanaan diarahkan untuk menekan gejala. Analgesik dan antimalaria merupakan yang sering digunakan. NSAID merupakan analgesic/antiinflamasi yang bermanfaat, terutama untuk arthritis/arthralgia. Namun 2 masalah penting dalam pemakaian NSAIDs. Pertama, pasien SLE dibandingkan dengan populasi pada umumnya memiliki peningkatan resiko terjadinya meningitis aseptic terinduksi NSAID, peningkatan serum transaminase, hipertensi, dan disfungsi renal. Yang kedua, semua jenis NSAIDs, terutama yang mencegah siklooksigenase-2 secara spesifik, dapat meningkatkan resiko untuk infark myokard. Acetaminophen untuk mengendalikan nyeri mungkin strategi yang baik, namun NSAIDs dapat lebih efektif pada beberapa pasien, dan perbandingan antara bahaya pada NSAID dengan kortikosteroid belum diketahui. Antimalaria (hydroxychloroquine, chloroquine, and quinacrine) dapat meringankan dermatitis, arthritis, dan keletihan. Obat ini juga dapat menurunkan kerusakan jaringan. Karena potensi toksik pada retina, pasien yang mendapatkan antimalaria sebaiknya menjalani pemeriksaan ophtalmologi paling tidak tiap tahun. Jika kualitas hidup belum cukup membaik dengan pemberian terapi konservatif ini, maka dosis glukokortikoid sistemik mungkin diperlukan.
Penanganan utama untuk semua manifestasi inflamasi yang membahayakan nyawa atau organ pada SLE adalah glukokortikoid sistemik (0.5–2 mg/kg per hari PO atau 1000 mg methylprednisolone sodium succinate IV harian untuk 3 hari diikuti dengan 0.5–1 mg/kg prednisone per hari). Bukti bahwa terapi glukokortikoid menyelamatkan nyawa disimpulkan dari suatu penelitian retrospektif dari era predialisis; harapan hidup lebih baik pada pasien dengan DPGN yang disembuhkan dengan glukokortikoid dosis tinggi (40–60 mg prednisone harian selama 4-6 bulan) dibandingkan dengan dosis yang lebih rendah. Saat ini, dosis tinggi direkomendasikan untuk jangka waktu yang lebih singkat; penelitian terkini pada intervensi SLE berat membutuhkan 4-6 minggu dari dosis tersebut. Setelah itu, dosis ditappering-off jika keadaan klinis mengizinkan, biasanya hingga dosis maintenans mulai dari 5 hingga 10 mg prednisone per hari atau 10 hingga 20 mg tiap 2 hari. Kebanyakan pasien dengan episode SLE berat membutuhkan terapi maintenans ini untuk beberapa tahun, dimana dosisnya dapa ditingkatkan untuk mencegah atau mengobati serangan. Usaha-untuk mengurangi kebutuhan glukokortikoid dibutuhkan karena pada kebanyakan orang mengalami efek samping yang bermakna (Tabel 4). Penelitian prospektif pada lupus nephritis menunjukkan bahwa pemberian glukokortikoid dosis tinggi melalui intravenaupus (Methylprednisolone 1000 mg/hari selama 3 hari) lebih mempersingkat waktu penyembuhan dibandingkan dengan pemberian oral namun tidak lebih baik dalam memperbaiki fungsi ginjal. Telah menjadi umum pada praktek untuk memulai terapi SLE dengan pemberian glukokortikoid IV, berdasar dari penelitian tentang lupus nephritis. Pendekatan ini harus dipertimbangkan tingkat keamanannya, seperti keberadaan efek samping yang disebabkan glukokortikoid (infeksi, hyperglycemia, hipertensi, osteoporosis, dll)
Agen immunosupresif/sitotoksik yang diberikan dengan glukokortikoid direkomendasikan untuk mengatasi SLE yang berat. Kebanyakan penelitian prospektif pada SLE melibatkan agen sitotoksik telah dilakukan pada pasien dengan lupus nephritis, dan selalu dengan kombinasi bersama glukokortikoid. Sehingga, pemberiannya direkomendasikan untuk mengatasi nephritis. Baik siklophosphamid atau micophenolat mofetil (inhibitor spesifik limfosit) merupakan pilihan yang dapat diterima untuk mendapatkan erbaikan pada pasien dengan penyakit yang berat; azathioprine (suatu analog purin dan antimetabolik) dapat efektif namun lebih lama berespon. Pada pasien dengan biopsy ginjalnya menunjukkan stadium III atau IV (klasifikasi ISN), terapi dini dengan kombinasi glukokortikoid dan siklophosphamide mengurangi progresi ESRD dan meningkatkan harapan hidup. Penelitian jangka pendek terhadap glukokortikoid disertai mycophenolate mofetil menunjukkan bahwa regimen ini lebih aman dan tidak lebih jelek daripada siklophosphamide dalam mempertahankan perbaikan setelah 6 bulan fase induksi. Jika siklophosphamide digunakan, dosis yang direkomendasikan adalah 500-700 mg/m2 secara intravena, setiap bulan selama 3 hingga 6 bulan, kemudian pemberiannya dihentikan dan melanjutkannya dengan mycophenolate atau azathioprin. Insiden dari gangguan ovarium, merupakan efek umum dari terapi siklophosphamide, dapat dikurangi dengan terapi agonist hormone gonadotropin-releasing sebelum pemberian siklophosphamide. Penelitian di Eropa menyimpulkam bajwa siklophosphamide dengan dosis 500 mg tiap 2 minggu untuk 6 dosis sama efektifnya dengan dosis yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama yang direkomendasikan sebelumnya, selama masa 5-7 tahun. Pada umumnya mayoritas pasien adalah Kaukasia; tidak jelas apakah data itu dapat belaku untuk etnis lainnya. Siklophosphamide dan mycophenolate mulai berespon setelah 3-16 minggu terapi dimulai, dimana glukokortikoid berespon dalam waktu 24 jam pertama. Pasien dengan kadar kreatinin serum yang tinggi [misal, 265 mol/L (3,0 mg/dL)] selama beberapa bulan dan angka kronisitas pada biopsy renal sepertinya tidak berspon dengan baik. Durasi yang direkomendasikan untuk pemberian siklophosphamide masih controversial. Terdapat data untuk menunjang penanganan (1) tiap bulan IV selama 6 bulan diikuti dengan 2 tahun dengan dosis seperempatnya, (2) selama 12 minggu diikuti dengan azathioprine, dan (3) selama 6 bulan diikuti dengan azathioprine atau myciophenolate. Pada umumnya, siklophosphamide dan glukokortikoid dapat dihentikan jika sudah terjadi perbaikan yang jelas pada pasien; kemungkinan dari serangan penyakit diturunkan dengan melanjutkan terapi dengan salah satu dari obat sitotoksik/immunosupresif yang telah didiskusikan sebelumnya. Respon terhadap lupus nephritis terhadap siklophosphamide dan glukokortikoid lebih baik pada etnis kaukasia dibandingkan kaum African American, namun hasil dari penelitian jangka panjang diperlukan sebelum rekomendasi ini divalidasi. Efek samping sepertinya kebanyakan mempengaruhi pilihan pasien terhadap siklophosphamide yang memiliki angka tinggi kejadian kegagalan ovarium dan testis seiring dengan akumulasi dosis obat yang meningkat, mual dan malaise yang sering mengikuti tiap dosis IV adalah alopesia dan infeksi oportunis.
Karena glukokortikoid disertai dengan siklophosphadie memiliki efek samping dan sering tidak disukai oleh pasien, telah dilakukan penelitian terhadap terapi yang kurang toksik; hal ini mengarah kepada penelitian terkini serta penggunaan mycophenolate. Azathioprine disertai dengan glukokotikoid kemungkinan mengurangi angka serangan SLE dan menjaga kebutuhan dosis glukokortikoid.
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Komentar
Posting Komentar