Epidemiologi HIV/AIDS
AIDS (Acquired Immunodeficiency Sindrome) dikenal sejak tahun 1981 pada lima orang pria homoseksual di Los Angeles, Amerika Serikat (Sepkowitz, 2001). Pada tahun 2000, jumlah orang yang terinfeksi HIV di dunia diperkirakan 42 juta orang, dimana dua pertiganya tinggal di Afrika. HIV menginfeksi laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, bahkan bayi, semua warna kulit dan ras, dan berbagai orientasi seksual. Dari jumlah tersebut, 20 juta orang telah meninggal akibat AIDS pada Desember 2000, dan 3 juta diantaranya adalah anak-anak. Di Indonesia, menurut data Departemen Kesehatan (Depkes), diperkirakan terdapat 90.000 sampai 130.000 orang dengan HIV positif.
Penyebab AIDS diketahui pada tahun 1983, yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV), suatu Retrovirus yang termasuk dalam famili Lentivirus. Dua virus HIV yang berbeda secara genetik namun berhubungan antigennya adalah HIV subtipe 1 (HIV-1) dan HIV subtipe 2 (HIV-2) yang dapat bereaksi silang pada uji serologik (Mitchell and Kumar, 2003; Jawetz et al., 1996). AIDS pada dasarnya adalah kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya kekebalan tubuh, disebabkan oleh HIV (Sepkowitz, 2001).
Struktur HIV
Virion HIV berbentuk sferis dan memiliki inti berbentuk kerucut, dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari membran sel hospes. Inti virus mengandung protein kapsid terbesar yaitu p24, protein nukleokapsid p7/p9, dua kopi RNA genom, dan tiga enzim virus yaitu protease, reverse transcriptase dan integrase (Gambar 1). Protein p24 adalah antigen virus yang cepat terdeteksi dan merupakan target antibodi dalam tes screening HIV. Inti virus dikelilingi oleh matriks protein dinamakan p17, yang merupakan lapisan dibawah selubung lipid. Sedangkan selubung lipid virus mengandung dua glikoprotein yang sangat penting dalam proses infeksi HIV dalam sel yaitu gp120 dan gp41. Genom virus yang berisi gen gag, pol, dan env yang akan mengkode protein virus. Hasil translasi berupa protein prekursor yang besar dan harus dipotong oleh protease menjadi protein mature (Mitchell and Kumar, 2003).
Gambar 1. Struktur HIV (Tillman, 2001)
Perkembangbiakan HIV
Meskipun berbagai sel dapat menjadi target dari HIV, ada dua target utama infeksi HIV yaitu sistem imunitas tubuh dan sistem saraf pusat (Mitchell and Kumar, 2003; Fauci et al., 2001; Cornain dkk., 2001) tetapi virion HIV cenderung menyerang limfosit T. Jumlah limfosit T penting untuk menentukan progresivitas penyakit infeksi HIV ke AIDS (McCloskey, 1998; Drew, 2001). Limfosit T menjadi sasaran utama HIV karena memiliki reseptor CD4+ (sel T CD4+). yang merupakan pasangan ideal bagi gp120 permukaan (surface glycoprotein 120) pada permukaan luar HIV (enveloped) (Schols, 1996; McCloskey, 1998). Molekul CD4+ merupakan reseptor dengan afinitas tinggi terhadap HIV. Hal tersebut menjelaskan adanya kecenderungan selektif virus terhadap sel T CD4+ dan sel CD4+ lainnya, yaitu makrofag dan sel dendritik. Selain berikatan dengan sel CD4+, glikoprotein pada selubung HIV, yaitu gp120 akan berikatan dengan koreseptor pada permukaan sel untuk memfasilitasi masuknya virus ke dalam sel tersebut. Dua macam reseptor kemokin pada permukaan sel CD4+, yaitu CCR5 dan CXCR4 yang dikenal berperan dalam memfasilitasi masuknya HIV. Reseptor CCR5 banyak terdapat pada makrofag dan reseptor CXCR4 banyak terdapat pada sel T. Selubung HIV gp120 berikatan dengan gp41 akan menempel pada permukaan molekul CD4+. Pengikatan tersebut akan mengakibatkan perubahan yang menyebabkan timbulnya daerah pengenalan terhadap gp120 pada CXCR4 dan CCR5. Glikoprotein 41 akan mengalami perubahan yang mendorong masuknya sekuens peptida gp41 ke dalam membran target yang memfasilitasi fusi virus (Mitchell and Kumar, 2003; Fauci et al., 2001; Hogan et al., 2001).
Dengan glikoprotein gp41 transmembran (transmembrane glycoprotein 41), maka akan terjadi fusi antara permukaan luar dari HIV dengan membran limfosit T CD4+, sedangkan inti (core) HIV melanjutkan masuk sel sambil membawa enzim reverse transcriptase (Pavlakis, 1997). Bagian inti HIV yang mengandung RNA (single stranded RNA) akan berusaha membentuk double stranded DNA dengan bantuan enzim reverse transciptase yang telah dipersiapkan tersebut, kemudian dengan bantuan DNA polimerase terbentuklah cDNA atau proviral DNA. Proses berikutnya adalah upaya masuk ke dalam inti limfosit T dengan bantuan enzim integrase, maka terjadilah rangkaian proses integrasi, transkripsi yang dilanjutkan dengan translasi protein virus, serta replikasi HIV yang berlipat ganda yang nantinya akan meninggalkan inti. Setelah mengalami modifikasi, saling kemudian berusaha keluar menembus membran limfosit (budding) dan virion baru yang terbentuk siap menginfeksi limfosit T CD4+ berikutnya. Sel yang pecah akan mati, demikian proses ini terus berlangsung sehingga jumlah limfosit T CD4+ cenderung terus menurun dan perjalanan penyakit cenderung progresif (Drew., 2001)
Perjalanan HIV
Perjalanan penyakit HIV merupakan perjalanan interaksi HIV dengan sistem imun tubuh. Terdapat tiga fase yang menunjukkan terjadinya interaksi virus dan hospes yaitu fase permulaan/akut, fase pertengahan/kronik dan fase terakhir/krisis (Mitchell and Kumar, 2003). Fase akut menandakan respon imun tubuh yang masih imunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, fase tersebut ditandai oleh penyakit yang sembuh dengan sendirinya yaitu 3 sampai 6 minggu setelah terinfeksi HIV. Gejalanya berupa radang tenggorokan, nyeri otot (mialgia), demam, ruam kulit, dan terkadang radang selaput otak (meningitis asepsis). Produksi virus yang tinggi menyebabkan viremia (beredarnya virus dalam darah) dan penyebaran virus ke dalam jaringan limfoid, serta penurunan jumlah sel T CD4+. Beberapa lama kemudian, respon imun spesifik terhadap HIV muncul sehingga terjadi serokonversi. Respon imun spesifik terhadap HIV diperantarai oleh sel T CD8+ (sel T pembunuh, T sitotoksik cell) yang menyebabkan penurunan jumlah virus dan peningkatan jumlah CD4+ kembali. Walaupun demikian, penurunan virus dalam plasma tidak disertai dengan berakhirnya replikasi virus. Replikasi virus terus berlangsung di dalam makrofag jaringan dan CD4+ (Mitchell and Kumar, 2003; Saloojee and Violari, 2001).
Fase kronik ditandai dengan adanya replikasi virus terus menerus dalam sel T CD4+ yang berlangsung bertahun-tahun. Pada fase kronik tidak didapatkan kelainan sistem imun. Setelah bertahun-tahun, sistem imun tubuh mulai melemah, sementara replikasi virus sudah mencapai puncaknya sehingga perjalanan penyakit masuk ke fase krisis. Tanpa pengobatan, pasien HIV akan mengalami sindrom AIDS setelah fase kronik dalam jangka waktu 7 sampai 10 tahun (Mitchell and Kumar, 2003; Saloojee and Violari, 2001).
Fase krisis ditandai dengan hilangnya kemampuan sistem imun, meningkatnya jumlah virus dalam darah (viral load) dan gejala klinis yang berarti. Pasien mengalami demam lebih dari 1 bulan, lemah, penurunan berat badan dan diare kronis. Hitung sel T CD4+ berkurang sampai dibawah 500/µL. (Mitchell and Kumar, 2003; Saloojee and Violari, 2001).
Diagnosis HIV
Gejala infeksi HIV disesuaikan dengan fase perjalanan penyakit. Gejala infeksi HIV pada awalnya sulit dikenali, karena seringkali mirip penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare sehingga penderita tampak sehat. Kadang-kadang dalam enam minggu pertama setelah penularan, timbul gejala tidak khas berupa demam, rasa letih, sakit sendi, sakit menelan dan pembengkakan kelenjar getah bening di bawah telinga, ketiak dan selangkangan. Gejala ini biasanya sembuh sendiri dan sampai 4-5 tahun mungkin tidak muncul gejala. Pada tahun ke-5 atau ke-6, mulai timbul diare berulang (kronis), penurunan berat badan secara mendadak (> 10%), sering sariawan dan pembengkakan kelenjar getah bening (Mitchell and Kumar, 2003).
Sangat disarankan memeriksa darah untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dengan cara Elisa Reaktif sebanyak dua kali. Bila hasilnya positif, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan Imunofluoresensi Western Blot untuk memastikan adanya HIV di dalam tubuh. Screening terutama dilakukan pada orang yang mempunyai perilaku berisiko tinggi, seperti sering berganti-ganti pasangan seks, pecandu narkoba suntikan, mendapati gejala penyakit yang khas karena infeksi HIV, menderita penyakit yang memerlukan transfusi darah terus-menerus seperti hemofilia dan sering berhubungan dengan cairan tubuh manusia (Mitchell and Kumar, 2003; Saloojee and Violari, 2001).
Pengobatan HIV
Belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV/AIDS. Ada obat yang dapat memperlambat perkembangan HIV, dan memperlambat kerusakan pada sistem kekebalan tubuh tetapi belum ada cara untuk memberantas HIV dari tubuh penderita. (Mitchell and Kumar, 2003; Saloojee and Violari, 2001).
Pengobatan AIDS bertujuan untuk mempertahankan keadaan sehat tanpa efek samping yang berarti dalam waktu yang lama. Caranya adalah dengan menekan viral load sehingga menekan produksi virus dan mengembalikan fungsi sistem imunitas tubuh. Pengobatan AIDS dengan ARV harus bersifat kombinasi karena adanya resistensi virus terhadap ARV. Tiga golongan ARV yang dikenal adalah nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRI), dan protease inhibitor (PI). Kombinasi ARV bisa berupa 3NRTI, 2NRTI+NNRTI, dan 2NRTI+PI. Pasien AIDS harus menggunakan ARV terus menerus dan apabila pengobatan ARV berhenti, maka akan terjadi resistensi dan kegagalan pengobatan (Sepkowitz, 2001; Fauci and Lane, 2001; Thaker and Snow, 2003).
GB Virus C (GBV-C)
1. Sejarah Penemuan
Pada tahun 1967, dari seorang ahli bedah dengan inisial G.B. yang menderita hepatitis akut, (Masuko et al., 1996). Kemudian dapat diisolasi dua virus baru yang merupakan virus RNA positif strand dan termasuk famili Flaviviridae, yaitu Virus GB tipe A (GBV-A) dan Virus GB tipe B (GBV-B) (Simons et al., 19951). Ternyata GBV-A dan GBV-B hanya didapati pada kera tamarin (Alter et al, 1996). Tahun 1996, ditemukan virus lain yaitu GBV-C pada penderita hepatitis akut, kronis maupun orang sehat yang tinggal di Amerika Serikat, Kanada dan Afrika (Leary et al., 1996). GBV-C (Alter et al, 1996). Seperti juga Virus Hepatitis C (VHC), VHG dan GBV-C memiliki persamaan asam amino dan nukleotida lebih dari 95% dan 85%, sehingga disimpulkan kedua virus tersebut berasal dari spesies virus yang sama dengan isolat yang berbeda (Retno et al., 2000).
2. Struktur GBV-C
GBV-C termasuk famili flaviviridae yang terdiri dari molekul RNA single stranded dan memiliki kurang lebih 9.500 nukleotida (Sherlock, 1999). Dua puluh lima persen GBV-C memiliki persamaan asam amino dengan VHC, dan sifat kronisitasnya cukup menonjol pada infeksi manusia. Pola genom secara keseluruhan mirip dengan VHC dan flavivirus lain (Di Bisceglie, 1996). Virus ini cukup unik diantara flafiviridae karena tidak menyandi suatu protein yang menyerupai inti (core like protein) yaitu protein yang letaknya dekat ujung amino dari poliprotein virus. Asam amino VHG dan GBV-C memiliki homologi sebanyak 29% dengan VHC, yang menunjukkan bahwa virus tersebut berbeda dan bukan serotipe dari VHC. VHG dan GBV-C memiliki homologi asam amino sebanyak 48% dengan GBV-A dan 28% dengan GBV-B. Dalam pembicaraan selanjutnya VHG dan GBV-C akan disebut sebagai GBV-C. GBV-C memiliki dua macam protein yaitu 2 protein struktural (protein E1 dan E2) dan 5 protein nonstruktural (protein NS2, NS3, NS4, NS5A dan NS5B) (Tillmann et al., 2001) (gambar 4). Protein E2 merupakan protein utama yang dapat merangsang terbentuknya antigen dalam tubuh.
Gambar 2. Struktur Genom GBV-C (Tillmann et al., 2001)
1. Prevalensi dan Jalur Penularan GBV-C
GBV-C dapat ditularkan melalui darah dan produk darah hubungan seksual dan vertikal dari ibu ke janinnya. GBV-C juga dapat ditularkan melalui serum yang terinfeksi pada binatang primata, termasuk tamarin, simpanse dan kera macaca. GBV-C banyak dideteksi pada pengguna obat-obatan intravena. Prevalensi GBV-C berbeda pada berbagai populasi. Centers for Disease Control and Prevention telah menemukan diantara pasien di Amerika Serikat yang didiagnosis hepatitis non-A, non-B kira-kira 18% positif terdapat RNA GBV-C yang mana sebagian besar pasien (80%) juga terinfeksi dengan VHC (DiBisceglie, 1996; CDCP, 1996),
Infeksi GBV-C dapat terjadi pada donor darah sehat (Linnen et al., 19962). Prevalensi infeksi GBV-C pada donor darah di Surabaya, Indonesia sebesar 2,7%. Sedangkan prevalensi infeksi GBV-C dan koinfeksi dengan VHC yang terjadi pada penderita penyakit hati kronis di Surabaya sebesar 8,4% (Retno et al., 2000).
Kelompok resiko tinggi pada penularan GBV-C adalah pekerja seks komersial (PSK) dan pria homoseksual. Di Taipei, Taiwan, 21% wanita PSK tanpa riwayat penggunaan obat-obatan intra vena didapatkan RNA GBV-C yang positif. Seroprevalensi RNA GBV-C pada pria homoseksual yang positif terinfeksi HIV di Frankfurt, Jerman, adalah 8,5%. Peneliti yang sama menganalisis antibodi terhadap glikoprotein envelope E2 (E2Ab) dari GBV-C dan menemukan jumlah prevalensi keseluruhan sebesar 31,9%. Di Spanyol, prevalensi RNA GBV-C telah dilaporkan sebesar 13,4% dan 19%. Sebesar 51% dari pria homoseksual yang terinfeksi HIV di Skotlandia menunjukkan positif RNA GBV-C dan 4 dari 17 sampel negatif, dengan PCR menjadi positif (Wacthler et al., 2000).
2. Diagnosis GBV-C
Diagnosis spesifik sesuai jenis virus penyebab hanya bisa ditentukan melalui pemeriksaaan laboratorium (Hardie, 2005). Diagnosis infeksi GBV-C dilakukan dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) yaitu untuk mendeteksi adanya RNA virus dalam serum, jaringan atau cairan yang terinfeksi lainnya. PCR masih merupakan metode unggulan yang tersedia saat ini untuk diagnosis adanya infeksi GBV-C. Kemungkinan ketidaksesuaian hasil pemeriksaan PCR dengan prevalensi infeksi GBV-C dapat terjadi pada orang yang telah sembuh dari infeksi atau pada saat tidak mengandung GBV-C lagi (Di Bisceglie, 1996).
Komentar
Posting Komentar